11 November, 2013

Menanti Sinergi Jose Mourinho dan Chelsea

 
Sebulan yang lalu saya mendapatkan kesempatan untuk memberikan opini saya sebagai fans Chelsea ke dalam bentuk tulisan dari salah satu redaksi majalah sepakbola, Four Four Two Edisi Indonesia. Saya pun mengiyakan dan punya waktu empat hari untuk menuliskan opini saya dengan batasan tiga sampai empat halaman A4. Saya berakhir dengan tulisan sebanyak lima lembar A4 dan saya harus mengeditnya. Saat tulisan ini diterbitkan di edisi bulan November 2013, bahkan masih ada beberapa bagian lagi yang diedit dan saya tentu bisa memahaminya. Terima kasih untuk Four Four Two Indonesia dan Stara Anna (@StaraAnna), teman saya sesama fans Chelsea yang mengajukan nama saya ke redaksi.

Jadi, saya menuliskan versi utuh opini saya itu di blog saya, dengan sedikit sekali tambahan agar tidak terkesan basi karena ada beberapa kejadian lagi setelah tulisan ini dibuat medio Oktober lalu. Jadi, silahkan menikmati. Opini dan komentar akan semakin bagus untuk tulisan-tulisan saya selanjutnya. Terima Kasih!




Saat isu kembalinya Jose Mourinho ke Stamford Bridge mulai berhembus sekitar medio Maret lalu, sebagian besar fans Chelsea di seluruh dunia sangat antusias menyambut isu tersebut. Tujuh tahun meninggalkan Chelsea, kerinduan terhadap Jose Mourinho masih begitu besar. Chelsea begitu sering berganti manajer di era Roman Abramovich dan kapanpun hal itu terjadi, masih banyak fans Chelsea yang membayangkan suatu saat Mourinho akan duduk di 'kursi paling panas' dalam dunia sepakbola saat ini. 
Jadi, saat Chelsea FC mengumumkan bahwa Jose Mourinho resmi kembali ke tempat yang selalu disebutnya sebagai rumah, sebagian besar fans Chelsea sangat, sangat bahagia, tapi mungkin tidak terkejut. Kenapa? Sebelumnya, semua orang sudah membicarakan The Special One akan kembali ke Chelsea, Mourinho mengaku bahwa dirinya tak akan bertahan di Real Madrid untuk musim berikutnya dan Rafael Benitez mengatakan di hadapan pers bahwa semua orang tahu siapa yang akan duduk di kursi manajer Chelsea musim 2013-14!

Salah satu akun twitter fans Chelsea, @franklampardUK, menyebutkan, 'Mourinho's return might just be the worst-kept secret of all time. #ComingHome.' (17 Mei 2013). Ya, bahwa kembalinya Mourinho itu seperti sesuatu yang dirahasiakan dengan sangat buruk yang pernah ada, karena semua orang seperti sudah mengetahuinya jauh-jauh hari sebelum Chelsea FC mengumumkan berita tersebut di awal Juli 2013!
Citra seorang Mourinho dari segi personal tak pernah berubah sedikitpun. Dia tetap seorang manajer yang sangat terbuka dalam berkomunikasi, optimistis tentang segala kekuatan yang dimilikinya dan sebenarnya, menurut saya, Mourinho sangat humoris. Tapi, dari segi profesional, Mourinho kembali ke Chelsea dengan sejumlah pengalaman berharga yang tak dimilikinya saat datang di tahun 2004. Prestasinya di Internazionale dan Real Madrid mau tak mau membuatnya menanggung sebuah ekspektasi yang jauh lebih tinggi untuk membawa Chelsea kembali menggeliat sebagai penantang juara Premier League.

Ya, Premier League. Saya tidak mencantumkan kompetisi Liga Champions sebagai tolok ukur kesuksesan seorang manajer atau sebuah tim. Bagi saya kompetisi domestik dengan 38 pertandingan kandang-tandang adalah sebuah sistem yang ideal untuk mengukur kualitas tim yang sebenarnya. Tantangan reguler yang disajikan tiap pekan membuat klub yang menjadi juara di akhir musim bisa dinilai sebagai tim dengan persiapan terbaik, skuad terbaik dan konsistensi terbaik.

Jika, ada yang menilai kualitas Liga Champions di atas kompetisi domestik seperti Premier League, La Liga ataupun Bundesliga, saya bisa mengatakan Liga Champions unggul dari segi gengsi saja karena mengumpulkan tim-tim terbaik dari tiap kompetisi Liga di Eropa. Namun, saat berkompetisi di kancah domestik pun, tim-tim seperti Chelsea, Man. United, Arsenal dan Man. City kerap menelan kekalahan dari tim-tim medioker yang bahkan bukan peserta Liga Champions. Tidak ada fase knock out, dimana harapan anda untuk menjadi juara langsung dihabisi dalam dua match yang menentukan. Untuk menjadi juara di Liga Champions, faktor keberuntungan yang dibutuhkan lebih besar dibandingkan untuk menjadi juara Premier League.

Kembali lagi ke Chelsea dan Jose Mourinho. Tantangan yang diterima Mou tak main-main. Skuad Chelsea telah mengalami banyak perubahan signifikan, terutama dalam dua tahun terakhir.  Bagi saya sebenarnya semua dimulai ketika Chelsea membeli David Luiz dan Ramires di era Carlo Ancelotti. Dari pembelian dua pemain Samba tersebut, saya sudah mencium gelagat bahwa manajemen Chelsea tengah membangun sebuah rencana untuk membentuk The Blues menjadi tim dengan karakter yang berbeda, intinya bermain lebih fleksibel dan meninggalkan sepakbola fisik peninggalan Jose Mourinho dan Liga Inggris itu sendiri, sebenarnya. Dilanjutkan dengan penandatanganan Juan Mata (2011), Eden Hazard, Oscar, Marko Marin (2012), semakin jelas bahwa Chelsea memang ingin merubah wajah mereka.

Sayangnya, tak ada satupun manajer yang benar-benar sukses membangun konsistensi dalam proses perubahan ini. Andre Villas-Boas dipecat setelah hanya menjalankan tugas selama tujuh bulan dengan segala kegagalannya dari segi teknis dan membangun hubungan baik dengan pemain senior, dimana itu adalah hal yang sangat fatal. Lampard mengatakan bahwa kesalahan utama Villas-Boas adalah terlalu memikirkan masa depan, tanpa mempertimbangkan apa yang diraih skuad Chelsea saat itu. Mungkin ini ada benarnya, karena dengan deretan pemain top, tuntutan untuk menjadi juara selalu ada.

Juara setelah penantian panjang di era Roman Abramovich. Chelsea layak beruntung
Roberto Di Matteo memang sukses membawa Chelsea menjadi juara Liga Champions dan Piala FA, tapi Chelsea berakhir di peringkat enam Premier League dan di musim selanjutnya Chelsea malah tak lolos dari fase grup Liga Champions dan performa yang menurun di Premier League usai kekalahan 2-3 dari Manchester United. Awal yang mengesankan di sembilan laga awal Premier League musim 2012-13 tak lepas dari lawan-lawan Chelsea di Premier League yang saat itu standarnya memang di bawah Chelsea, tapi ketika Chelsea harus menghadapi tim sekelas Juventus, Shakhtar Donetsk dan Atletico Madrid (di Liga Champions dan Super Eropa), terlihat jelas bahwa  Chelsea sebenarnya tak setangguh yang dibayangkan banyak orang saat itu dan itulah kenapa saya setuju dengan pemecatan Roberto Di Matteo. Tapi, saya tetap menghormatinya.

Rafael Benitez juga tak terlalu mengesankan. Chelsea harus bertarung hingga pekan ke-37 untuk memastikan tiket Liga Champions musim ini dengan mengalahkan Aston Villa. Chelsea akhirnya berada di posisi ketiga klasemen akhir 2012-13 setelah mengalahkan Everton di laga terakhir. Rafael Benitez di mata saya terlalu 'serius' menghadapi kompetisi-kompetisi seperti Piala FA dan Liga Europa dan pada akhirnya agak mengorbankan performa Chelsea di Premier League. Contohnya saat mereka harus menjalani laga kontra Southampton di Premier League pada akhir bulan Maret 2013, dua hari sebelum partai replay melawan Manchester United di perempat final Piala FA. Chelsea masih membutuhkan poin untuk bisa memantapkan posisi di empat besar, dan itu yang terpenting, tapi Benitez malah menurunkan sejumlah pemain lapis kedua saat melawan Southampton dan kemudian kalah 2-1. Saat menghadapi Manchester United, Benitez menurunkan formasi terbaiknya, Chelsea menang 1-0 dan lolos ke semifinal. Langkah Chelsea terjegal di tangan Manchester City di semifinal yang saat itu menurut saya, City memang menjadi klub yang tampil lebih baik dari Chelsea sepanjang musim tersebut. Benitez seharusnya tahu bahwa dia tak perlu mengorbankan pertandingan Chelsea di Premier League untuk menghadapi langkah terjal di Piala FA, kita tahu Chelsea akan menghadapi siapa di semifinal dalam partai replay kontra United, karena undian sudah dilaksanakan sebelumnya. Sekali lagi, dia terlalu serius menghadapi Piala FA di saat Chelsea bahkan belum memastikan tempat mereka di empat besar Premier League 2012-13. Terkadang, saya merasa Benitez sepertinya ingin mengukir sesuatu di Chelsea dengan meraih trofi nomor dua [Piala FA dan Liga Europa]. Padahal, saat dia mengambil tugas Di Matteo, Chelsea masih punya kesempatan juara Premier League. Itu masih bulan November. Apakah Benitez mengetahui jika dirinya tak cukup mampu membawa Chelsea bersaing di kompetisi terbaik ini, meskipun harus melewatkan semua kesempatan meraih trofi di Piala FA dan Liga Europa? Menurut saya, dia memang seperti itu.

Chelsea membutuhkan seorang manajer yang paham betul tentang apa yang seharusnya diraih timnya dan bagaimana melakukannya. Jose Mourinho bisa menjadi jawabannya, semoga.

Seperti yang saya katakan, tugas Jose Mourinho tidaklah mudah. Memikirkan pemain mana yang harus bermain dari satu pertandingan ke pertandingan lain saja sudah cukup susah dipikirkan, mengingat melimpahnya stok pemain Chelsea, terutama di sektor gelandang atau gelandang serang. Apalagi dengan kedatangan pemain-pemain seperti Marco van Ginkel, Kevin de Bruyne, Willian dan Andre Schurrle.
Keputusan kontroversial pun dibuatnya. Ia membangkucadangkan Juan Mata di awal musim ini dan menyatakan bahwa Oscar adalah playmaker Chelsea yang baru. Sebuah keputusan yang hampir setiap hari dipertanyakan oleh sebagian fans Chelsea, tapi saya tidak mengambil penilaian terlalu awal bahwa Mata akan dibangkucadangkan sepanjang musim ini.

Juan Mata, 'kontroversi' terbesar Mourinho hingga kini
Mourinho meminta Juan Mata untuk beradaptasi dengan posisi barunya, yaitu sebagai pemain sayap yang aktif, yang tak hanya lihai menyerang tapi juga tanggap melindungi pertahanan saat bek sayap masuk menyerang. Seperti yang biasa dilakukan Eden Hazard saat mengcover posisi Ashley Cole. 

Tapi, saat Juan Mata bermain bagus melawan Swindon dan Spurs, Jose Mourinho memberikan kepercayaan kepadanya untuk menjadi starter saat melawan Steaua Bucharest dan Norwich City. Chelsea dengan mudah melibas Steaua dan Juan Mata menjadi salah satu pemain yang tampil apik. Tapi, saat melawan Norwich, keadaan menjadi sedikit sulit bagi Chelsea karena kedudukan imbang 1-1 hingga menit 80. Jose Mourinho melakukan tiga pergantian pemain dalam tujuh menit yaitu,  Ba (Eto'o 73), Ashley Cole (Hazard 74) dan Mata (Willian 80). Willian, yang menggantikan Mata mencetak satu gol dan berperan penting untuk terciptanya satu gol sebelumnya yang mengembalikan keunggulan Chelsea. Di saat seperti itu apakah masih ada yang mempertanyakan segala keputusan Jose Mourinho untuk tim ini?

Sepertinya apapun keputusan Jose Mourinho saat ini akan selalu ada pertanyaan yang mengiringi. Sulit memang jika anda menjadi seorang manajer tim sepakbola, dimana anda hanya bisa memainkan 11 pemain dan melakukan pergantian untuk tiga pemain, sementara ada 18-23 pemain dalam tim anda yang memiliki kualitas masing-masing. 

Saat Chelsea mulai memainkan sepakbola indah semenjak musim lalu, salah satu hal yang tidak dimiliki tim ini adalah konsistensi. Ya, dalam proses perubahan gaya permainan, inkonsistensi adalah hal yang wajar, apalagi jika sebuah tim tumbuh dalam kultur sepakbola yang kental dan ingin menerapkan gaya yang berbeda. Tapi, di saat yang bersamaan, Roman Abramovich, pemilik klub ini, tak mau begitu saja menerima alibi tersebut. Baginya, sepakbola indah dan hasil yang memuaskan harus sejalan.

Jadi, Mourinho pun berusaha keras untuk mewujudkan hal tersebut dengan caranya sendiri. Mou harus mensinergikan filosofi sepakbola taktis-efektifnya dengan skill teknik melimpah yang ada dalam skuad Chelsea. Maka dari itupula dia tidak menyingkirkan ketiga gelandang serang Chelsea, ia hanya ‘menyingkirkan’ Juan Mata (itupun bukan secara permanen). Ia mengembalikan posisi bek kanan kepada Branislav Ivanovic yang musim lalu sering berganti posisi ke bek tengah. Mourinho menguji kedisiplinan David Luiz, mengembalikan performa John Terry dan mengembangkan level permainan Gary Cahill. Hal yang terlihat begitu nyata dari kebijakan-kebijakan tersebut adalah menambah kekuatan elemen bertahan di tubuh Chelsea, untuk meningkatkan performa dan pencapaian tim yang sudah bermain ‘terlalu menyerang, namun melupakan keseimbangan tim’.

Jose Mourinho dan Frank Lampard. Kepercayaan.
Apakah hasilnya sudah terlihat memuaskan? Tentu saja belum. Tapi, juga terlalu dini untuk menilai seberapa besar peluang Chelsea menjuarai Premier League musim ini. Saya setuju saat Frank Lampard menyatakan dalam konferensi pers sehari sebelum menghadapi Steaua Bucharest awal Oktober ini. Lampard menyatakan bahwa butuh waktu dua hingga tiga bulan bagi tim untuk bisa beradaptasi dengan ide seorang manajer yang baru datang. 

Saya tidak terlalu cemas saat Chelsea gagal di Piala Super Eropa lewat adu penalti melawan Bayern Muenchen, kalah dari Everton dengan skor 1-0 dan kalah dari FC Basel 1-2. Saya hanya terheran, apakah saya benar-benar melihat Chelsea yang sama, yang bisa menahan Bayern Muenchen dengan 10 pemain dan hanya kalah adu penalti, saat Chelsea kalah dari Everton dan FC Basel? Beberapa orang terlalu cepat melupakan perlawanan luar biasa Chelsea saat menghadapi juara bertahan Liga Champions dan kemudian melabeli tim ini berada dalam krisis karena kekalahan kontra Everton dan FC Basel.

Hasil-hasil negatif di awal musim bagi saya adalah hal yang lumrah, apalagi jika tim anda kedatangan manajer baru. Silahkan menyimak kisah Manchester United dalam 10-15 tahun terakhir tentang bagaimana mereka meretas jalan menjadi juara di akhir musim. Sudah tradisi, Setan Merah bahkan tak bisa memenangkan seluruh lima laga awal mereka di awal musim.

Jadi, jika Jose Mourinho mengalami sedikit kesulitan di awal musim ini, itu juga wajar. Sekali lagi, dia disediakan skuad padat yang penuh bakat teknik, sementara dirinya adalah penganut sepakbola taktis-efektif. Perpaduan dalam Chelsea ini memerlukan waktu untuk bisa terkonvensi menjadi hasil yang memuaskan (baca: meraih kemenangan demi kemenangan yang konsisten). Seperti yang dikatakan Mourinho: “Ini bukan tentang bagaimana anda memulai, tapi bagaimana anda mengakhirinya.”

Lagipula, Liga Inggris musim ini memang sangat menarik. Silahkan diamati, Chelsea bisa mengalahkan Aston Villa, tim yang bisa mengalahkan Arsenal dan Manchester City musim ini. Everton adalah tim yang bisa mengalahkan Chelsea, namun bisa dikalahkan Manchester City. West Brom bisa mengalahkan Manchester United dan menahan Arsenal, tim yang kini bercokol di puncak klasemen. Spurs yang bisa menahan imbang Chelsea dan tengah tampil bagus-bagusnya, secara mengejutkan dihantam 0-3 oleh West Ham di kandang mereka sendiri. Southampton menduduki posisi keempat dan menjadi tim pertama yang bisa mengalahkan Liverpool musim ini. (Sekali lagi, tulisan ini dibuat pada pertengahan Oktober. Sebagai tambahan, Chelsea kemudian kalah dari Newcastle yang juga mengalahkan Spurs, Man United yang terombang-ambing malah bisa mengalahkan Arsenal dan City kalah mengejutkan dari Sunderland).

Atau, fakta menarik lainnya adalah Chelsea mungkin akan menjalani skenario terburuk mereka untuk paruh pertama musim ini. Karena, dari lima laga tandang pertama di Premier League, empat di antaranya dijalani di stadion-stadion angker seperti Old Trafford, Goodison Park, White Hart Lane dan St. James Park. Artinya, di paruh musim kedua, dengan skenario bagus berdasarkan jadwal home-away, semoga Chelsea bisa meraih hasil maksimal.

Pada akhirnya, sebagus apapun performa sebuah tim di Liga Inggris saat ini, sebesar apapun nama mereka, sebaik apapun materi pemain mereka, persaingan akan semakin sengit dan sebagai penikmat, menurut saya, kita semua baru benar-benar akan bisa melihat siapa yang menjadi juara di pekan ke-38!



Chelsea Till I Die


Tidak ada komentar:

Posting Komentar