08 Agustus, 2014

Hormati Profesionalisme Lampard Tanpa Syarat




Saat Frank Lampard memutuskan untuk meninggalkan Chelsea di musim panas tahun ini, itu sudah menjadi sebuah berita besar. Angan jutaan fans Chelsea di seluruh dunia untuk melihat salah satu, jika kita tidak bisa menyebutnya sebagai yang terhebat, pemain terbaik yang pernah bermain untuk Chelsea mengakhiri karirnya dengan seragam The Blues pun sirna. Frank Lampard memilih untuk melanjutkan karirnya sebagai pesepak bola ke MLS dan bermain untuk New York City FC.

Perkembangan berita mengenai karir pemain kelahiran Romford, 20 Juni 1978 ini kian menarik untuk diikuti mengingat New York City FC adalah sebuah klub waralaba yang dimiliki rival Chelsea di Liga Primer Inggris, Manchester City. MLS baru akan bergulir pada bulan Maret 2014, dan pertanyaan mengenai kemana Lampard akan menghabiskan waktunya selama tujuh bulan ke depan pun muncul. Diperkirakan sebelumnya dia akan memilih kembali ke Chelsea untuk berlatih demi menjaga kondisinya tetap bugar. Tapi, seolah menambah unsur drama setelah kepergiannya dari Stamford Bridge, Lampard akhirnya mencapai kesepakatan peminjaman jangka pendek dengan Manchester City.

Aneh rasanya melihat legenda terbaik Chelsea mengenakan seragam klub rival. Tapi, loyalitas dalam sepak bola menurut saya memiliki terjemahan yang berbeda saat ini. Ini bukan sebuah alibi pelipur lara, tapi sebuah bentuk kesadaran bahwa bisnis dan impian dari sebuah kondisi ideal tak selalu berjalan beriringan, sering berbenturan malahan.

Itulah yang terjadi dalam kasus kepindahan Frank Lampard. Jika kita melihat kembali betapa tinggi profesionalisme yang menggiringnya ke level terbaik, ia tentunya berharap menghabiskan karirnya dengan waktu bermain yang tak pernah berkurang. Hasratnya untuk selalu berada di atas lapangan, berkompetisi, bekerja keras, membuahkan pujian dan rasa cinta yang tak surut dari pendukung Chelsea. Bukankah begitu? Bukankah karakter itu yang membuatnya menjadi pemain kesayangan suporter The Blues di seluruh penjuru dunia?

Salah satu kabar yang paling banyak beredar mengiringi kepindahannya ke Etihad adalah bahwa ia mengajukan syarat untuk tidak dimainkan saat City berhadapan dengan Chelsea pada 20 September mendatang. Lampard belum memastikan kebenaran kabar ini.

Membayangkan Lampard mengenakan seragam City saat melawan Chelsea terasa sama sulitnya dengan mempercayai kebenaran kabar itu. Melihat beberapa fans Chelsea yang bereaksi bahagia dengan rumor itupun menimbulkan tanda tanya. Lampard telah memberikan segalanya selama 13 tahun terakhir, dan masih haruskah fans Chelsea memiliki tuntutan lebih terhadap dirinya saat ia tak lagi menjadi bagian dari klub ini?

Apakah harus dengan memilih untuk tidak dimainkan saat melawan Chelsea untuk tetap mendapatkan rasa hormat dari pendukung Chelsea? Ini seperti omong kosong. Maksudnya, setelah memberikan segalanya selama 13 tahun, profesionalisme yang tak pernah berkurang sedikitpun itu, mengapa ia tidak bisa menjadi Lampard yang sama yang selama ini kita kenal saat ia menginjakkan kakinya di tempat yang lain?

Satu kisah terlintas, menjelang Chelsea menghadapi Liverpool di leg kedua semi final Liga Champions 2007-08. Semua orang tahu Lampard sedang berduka saat itu dan dia tetap memilih bermain dalam sebuah laga penuh tekanan, yang akhirnya menjadi penghantar Chelsea ke final pertama mereka di Liga Champions. Soal gol penalti yang dirayakannya dengan penuh emosi itu, fans Chelsea pun pasti mengingatnya. Namun, ada sebuah cerita kecil yang mungkin terlewatkan di ingatan suporter. Mantan manajer interim Chelsea, Avram Grant, mengungkapkan bahwa Lampard sebenarnya baru menyatakan kesediaannya untuk bermain pada pukul 10 pagi waktu setempat, sementara laga digelar pukul 8 malam. Itu salah satu momen terberat dalam hidupnya, begitu berat hingga ia harus mengambil keputusan yang cukup mendadak seperti itu. Tapi, ia tetap tampil sebagai salah satu pemain terbaik dalam laga yang berlangsung 120 menit tersebut.

Lalu, saat dua golnya ke gawang Aston Villa yang mencatatkan namanya sebagai top skor Chelsea sepanjang masa. Pada latihan sehari sebelumnya, Lampard seperti biasanya menjadi pemain yang paling akhir meninggalkan tempat latihan, di tengah guyuran hujan yang membuat para pemain lainnya menyingkir dari lapangan. A very top profesional in any conditions, that's it.

Sebagai profesional, Lampard mungkin hanya menuntut satu hal selama berseragam Chelsea, dan jelas itu adalah gaji. Dia sudah tidak digaji Chelsea, jadi jangan berharap dirinya untuk berbuat ini itu demi Chelsea. Itu terasa tidak adil untuk dirinya.

Fans Chelsea setidaknya harus tetap menghormati keputusannya jika dia tetap bersedia dimainkan saat City menghadapi Chelsea. Biarkanlah ia melakukan apa yang bisa dilakukan legenda-legenda Chelsea sebelumnya, Pat Nevin dan Hasselbaink. Pat Nevin mencetak gol dengan seragam Everton saat melawan Chelsea, Hasselbaink mencetak gol saat ia berseragam Charlton di tahun 2006. Publik Stamford Bridge tetap memberikan penghormatan ketika dua legenda ini melaksanakan kewajiban profesionalnya.

Lagipula, coba dipikir sekali lagi, lini tengah Manchester City itu salah satu lini tengah dengan materi pemain paling bagus di Liga Primer Inggris. Dengan usianya yang 36 tahun, Lampard harus berjuang ekstra keras ditambah kemurahan hati sang pengatur nasib manusia jika ingin mendapatkan kesempatan bermain secara reguler. City juga tidak gegabah, mereka tahu Lampard hanya bersama mereka selama enam bulan. Membuat Lampard sebagai pemain kunci untuk paruh pertama musim 2014/15 bisa berakibat fatal untuk City. Jika sampai timbul ketergantungan, kemana mereka akan mencari Lampard saat ia harus kembali ke New York City FC awal tahun depan?


NB: Baca juga artikel ini di sini http://www.ftbpro.com/id/posts/nanda.febriana/1158607/fans-chelsea-harus-menghormati-frank-lampard-tanpa-syarat?a_aid=53b3ac3dd198c


KTBFFH
READ MORE - Hormati Profesionalisme Lampard Tanpa Syarat

06 Juni, 2014

Sebuah Tribut Untuk Frank Lampard: Segala Yang Terbaik Yang Pernah Terjadi Untuk Chelsea

Frank Lampard, menjadi kapten saat Chelsea meraih trofi Liga Champions pertama kalinya pada 19 Mei 2012

Menurut saya, tidak akan ada kalimat yang bisa melukiskan secara lengkap tentang cerita kepahlawanan seorang Frank Lampard selama 13 tahun karirnya di Chelsea. 13 tahun yang tak mungkin ditulis secara sempurna tanpa menyisakan sesuatu untuk terlupakan, karena sudah terlalu banyak yang telah dilakukan Super Frank untuk klub ini. Tapi, jika hari ini saya memutuskan untuk menuliskan sebuah tribut yang tidak mungkin sempurna untuknya, maka saya memiliki dua alasan kenapa saya harus melakukannya. Satu, cerita kepahlawanan Frank Lampard dengan seragam Chelsea berakhir pada tahun ini. Pada 3 Juni 2014 dinihari waktu Indonesia, Lampard mengucapkan salam perpisahan dari kamp latihan Timnas Inggris di Miami, USA, kepada seluruh fans Chelsea di dunia. Sebuah kalimat perpisahan yang membuat saya terus meneteskan air mata selama dua jam dan bahkan ketika saya mulai menuliskan tribut ini.  Kedua, saya tidak pernah menyangka keputusan saya pada November 2012 untuk membuat blog mengenai Chelsea akhirnya bisa mengantarkan saya untuk berjumpa dengan seorang pemain yang telah mendapatkan tempat pertama di hati saya dalam 10 tahun terakhir dan sangat mungkin selamanya. Frank James Lampard Jr.

Frank Lampard mulai resmi menjadi pemain Chelsea pada musim panas 2001 setelah The Blues memutuskan menghabiskan dana sebesar 11 juta Pounds untuk membelinya dari West Ham. Menurut keterangan banyak sumber, harga Lampard saat itu yang memang tergolong cukup mahal mengundang banyak sinisme. Chelsea dianggap bodoh mau menghabiskan uang sebesar itu untuk seorang pemain yang kemampuannya masih dinilai rata-rata. Meskipun Lampard telah menunjukkan potensinya di tim utama West Ham sejak usia 17 tahun, fans The Hammers menilai bahwa ia mendapatkan tempat di tim utama karena sang paman, Harry Redknapp adalah manajer dan ayahnya, Frank Lampard Sr. bekerja sebagai asisten manajer saat itu. Tapi, ketika West Ham jatuh ke posisi 15 pada musim 2000-01, keduanya dipecat dan Lampard yang mengaku bahwa dirinya cukup sakit hati dengan cara West Ham memperlakukan keluarganya memilih untuk turut hengkang. Saya yakin sekali pemilik Chelsea saat itu, Ken Bates, dan manajer Claudio Ranieri, tak pernah menyangka bahwa mereka sedang  membawa seorang pemain yang mampu membalikkan semua cibiran dan membayar keberanian mereka dengan kisah legendarisnya selama 13 tahun merumput di Stamford Bridge.

'This club has become part of my life and I have so many people to thank for the opportunity. Firstly, Ken Bates, who put his neck on the line to sign me as a young player and without him I would not have even begun this experience.' (Surat perpisahan Frank Lampard untuk Chelsea)

Di awal karirnya bersama Chelsea, jangankan para penggila sepak bola Inggris saat itu, Lampard pun menyatakan bahwa dirinya tak pernah berpikir klub London Barat tersebut akan mengalami sebuah revolusi gemilang di bawah kepemilikan Roman Abramovich yang dimulai sejak 2003. Dalam tahapan yang lebih ekstrim lagi, Lampard pastinya juga tak pernah berpikir bahwa dirinya menjadi sosok yang paling layak untuk mewakili kejayaan Chelsea hingga saat ini.

Frank Lampard, 7 Juni 2001, setelah resmi menandatangani kontrak bersama Chelsea

Di bawah kepelatihan Claudio Ranieri, Lampard sudah menjadi bagian dari tim inti Chelsea. Tapi, saat Roman datang pada musim panas 2003 dan mulai mendatangkan banyak pemain bintang di lini tengah The Blues, seperti Claude Makelele dan Juan Sebastian Veron, Lampard mengaku bahwa pada awalnya ia tak suka dengan Revolusi Chelsea di bawah Roman. Hal itu diakuinya pada wawancara dengan Four-Four Two pada Desember tahun lalu.

"When Roman arrived, I looked round and thought 'the big boys are starting to arrive now'. There was Claude Makelele and Juan Sebastian Veron - it seemed like every day they were signing a new midfielder! I can remember sitting on the bench for our first Champions League game that season next to John and Eidur (Gudjohnsen) and thinking, “I’m not sure I like this Chelsea revolution!” (Sumber: Four-Four Two)

Tapi, Lampard menjawab segala tantangan yang mendatanginya. Revolusi Chelsea tak akan pernah bisa disebut sebuah revolusi jika dirinya memilih untuk menyerah saat itu. Tak ada pemain yang berseragam Chelsea yang pernah masuk dalam jajaran dua pemain terbaik Eropa dan Dunia seperti yang pernah diraihnya pada tahun 2005. Tak ada satupun pemain Chelsea yang bisa merebut hati suporter untuk menobatkan seorang pemain sebagai Pemain Terbaik klub sebanyak tiga kali seperti Frank Lampard (2005, 2006, 2009). Bahkan, saat publik dan media sepak bola Inggris tak pernah cukup bersimpati dengan langkah Chelsea dan Roman Abramovich yang dianggap 'merusak' sepak bola, Frank Lampard meraih penghargaan pemain terbaik Inggris versi FA sebanyak dua kali (2004 dan 2005) dan pemain terbaik pilihan jurnalis Inggris di tahun 2005. Ya, pemain kelahiran Romford ini adalah segala sesuatu terbaik yang pernah dialami Chelsea dalam 13 tahun terakhir.

Frank Lampard dan Jose Mourinho, salah satu hubungan termanis antara pemain dan manajer di dunia sepak bola
Karir keemasan Frank Lampard di Chelsea awalnya digerakkan oleh sebuah momen yang dialaminya bersama Jose Mourinho. Pelatih Portugal itu datang di tahun 2004 dan menciptakan sebuah momen yang memberikan dampak luar biasa untuk mentalitas Lampard. Dalam sebuah dialog pendek di kamar mandi tempat latihan Chelsea, Mourinho mendatangi Lampard dan mengeluarkan kata-kata ajaibnya.

"I was last in the shower and turning to leave when I was stopped in my tracks by the manager. There was a moment of silence as I waited for him to move, but he looked me in the eye and I realized he had something to say.

'You are the best player in the world,' he said, without blinking. I was slightly confused as well as completely naked. Talk about feeling vulnerable.

" 'You,' he said more forcefully, 'are the best player in the world.' I felt a massive surge in confidence. I was walking on air for the rest of that day." (Autobiografi Frank Lampard, Totally Frank).


Pemain kelahiran 20 Juni 1978 ini seolah tersihir dengan kata-kata Mourinho tersebut. Dari sekedar seorang pemain bertalenta, ia menjelma menjadi pemain kelas dunia. Dampaknya terjadi seketika di musim itu juga. Super Frank menarik perhatian dunia dengan performa impresifnya di Eropa dan Inggris. Ia sukses membawa Chelsea ke semi final Liga Champions dan meraih gelar juara Liga Inggris untuk pertama kalinya setelah penantian selama 50 tahun. Dua golnya ke gawang Bolton Wanderers di bulan April 2005, yang menjadi penentu juara, selalu disebutnya sebagai gol terbaik yang pernah terjadi dalam karirnya.

Frank Lampard, Jose Mourinho dan John Terry saat merayakan juara Premier League 2004-05
 Juara Liga Inggris 2004-05 adalah satu dari sekian trofi Chelsea di era Roman yang melibatkan sentuhan jenius Frank Lampard di atas lapangan. Di tahun berikutnya, Chelsea kembali meraih gelar itu. Jika hanya harus dijelaskan dalam sebuah deretan angka untuk menunjukkan peran Lampard di dua musim tersebut, maka gelar top skor tim adalah jawabannya.

Lampard akan berumur 36 tahun pada tanggal 20 Juni tahun ini. Dia telah bermain selama 18 tahun di Premier League untuk West Ham dan Chelsea. Tiga trofi Premier League, empat Piala FA, dua Piala Liga Inggis dan masing-masing satu trofi Liga Champions dan Liga Europa telah menjadi bagian persembahannya untuk The Blues.

Pada 2009-10, saat Chelsea meraih trofi Premier League di bawah asuhan Carlo Ancelotti, Lampard mencetak 27 gol. Sebuah torehan yang menjadi satu penegas kehadirannya sebagai gelandang pencetak gol terbaik di Eropa. Ia adalah kapten tim saat mengantar Roman Emperor naik podium di Allianz Arena untuk mengangkat trofi Liga Champions pertama kalinya dalam sejarah klub di tahun 2012. Sebuah malam penuh kemanisan yang akan terus dikenang  oleh fans Chelsea di seluruh belahan dunia dan Lampard melakukan tugasnya dengan sangat baik untuk menggantikan peran John Terry sebagai pemimpin di atas lapangan.

Momen Frank Lampard menjadi top skor Chelsea sepanjang masa
Momen tak terlupakan lainnya datang pada bulan Mei 2013 tahun lalu. Dua gol nya ke gawang Aston Villa membuat ia sukses melampaui rekor Bobby Tambling sebagai top skor Chelsea sepanjang masa. Melihat bagaimana seluruh rekannya ikut larut dalam selebrasi gol keduanya, atau saat Big Pete menyediakan bahunya untuk mengangkat tubuh Super Frank setelah laga usai, itu adalah sebuah pemandangan dari betapa tingginya rasa hormat dan cinta yang didapatkan Frank Lampard dari rekan setimnya.

Selebrasi gol Frank Lampard ke gawang Liverpool, semifinal leg II Liga Champions 2007-08. Tribut untuk sang ibu

Nama Frank Lampard juga terikat begitu kuat di hati fans Chelsea dan ada begitu banyak kisah yang berbicara mengenai hal ini. Sebuah kabar duka di bulan April 2008 saat sang ibu, Pat Lampard, meninggal dunia, seolah menjadi kesedihan yang ikut dirasakan suporter. Bahkan, tiga hari setelah meninggalnya sang ibu, para pemain Chelsea merayakan gol Michael Ballack ke gawang Man. United dengan memberikan tribut untuk ibu dari wakil kapten Chelsea tersebut. Mereka mengangkat jersey bernomor punggung 8 yang bertuliskan RIP Pat Lampard. Empat hari kemudian, gol penalti Lampard ke gawang kiper Liverpool di semifinal leg kedua Liga Champions, dirayakannya dengan sangat emosional. Ia belari ke sudut lapangan, melepaskan ban hitam bertuliskan kata 'Mom' dari lengannya, menciumnya dan ia bersujud sambil menangis. Penuh haru biru, dan keriuhan fans Liverpool di Stamford Bridge pun tak mampu membendung emosi Frank. Tapi, tak ada ejekan yang biasanya ditujukan pada Frank tiap kali ia mencetak gol ke gawang Reina. Hanya standing applause dan tepuk tangan yang riuh rendah menyambut gol tersebut. Saya pun yakin banyak fans Chelsea yang ikut menangis bersamanya saat itu, termasuk saya.

Bicara soal kedewasaan di atas lapangan, saya sudah pernah membahasnya di artikel Frank Lampard: Truly Legend of Chelsea FC. Artikel itu mengupas reaksi Frank Lampard saat ia mendapatkan dua kartu merah di tahun 2008 dan 2009. Kartu merah yang tidak pernah seharusnya keluar dari kantong wasit dan akhirnya FA mengabulkan banding Chelsea atas dua kartu merah tersebut. Lampard terbebas dari hukuman larangan bermain. Tapi, bukan itu yang paling membekas di ingatan saya. Melainkan caranya menyikapi keputusan wasit yang merugikan dirinya dan tim. Tak ada konfrontasi berlebihan, ia tenang dan meninggalkan lapangan tanpa harus menciptakan keributan dari ketidak adilan yang diterimanya. Di luar urusan mengocek bola, Lampard memiliki kesantunan yang sangat elegan saat beraksi di atas lapangan. Dia menghormati ofisial pertandingan dengan cara yang sangat berintegritas. Tak sekedar berkata menghormati wasit, tapi dia juga memperlakukan para wasit dengan penuh hormat. Lalu, pernahkah anda mengamati, setiap dia mencetak gol jarak dekat, ia nyaris selalu menoleh ke arah hakim garis terlebih dahulu, hanya untuk sekedar memastikan bahwa ia tidak off side?

Lampard mungkin tak pernah dianugerahi talenta yang dimiliki Lionel Messi, Ronaldo, Hazard, Ronaldinho, yang membuat orang dengan begitu mudah akan memuja mereka. Tapi, sosok pekerja keras yang menempel pada dirinya membuatnya menjadi sebuah trend setter gaya permainan yang akan sulit diikuti siapapun.Agak aneh sebenarnya mendengar Lampard selalu menjadi pemain yang terakhir kali meninggalkan tempat latihan, baik itu di West Ham atau Chelsea. Atau bagaimana ia mengolah fisik dengan melakukan jogging malam hari bersama sang ayah saat ia masih muda. Dalam latihan, ia mengeksplorasi fisiknya, tapi sekali berada di atas lapangan, ia mengeksplorasi otaknya. Ia masuk ke kotak penalti lawan dengan cara yang nyaris sama, membuat para pemain lawan tidak menyadari kehadirannya dan tiba-tiba dia sudah berdiri berdekatan dengan kiper dan menceploskan bola ke dalam gawang. Terlihat mudah, tapi hanya pesepak bola jenius yang bisa melakukan perhitungan yang tepat seperti itu berkali-kali.

Frank Lampard mengangkat trofi Liga Europa 2012-13 sebagai kapten dalam final di Amsterdam
Lampard adalah sosok yang tidak hadir dengan sejumlah atribut permainan indah untuk dipamerkan, ia memang tidak memilikinya. Tapi, ia memiliki keefektivitasan permainan luar biasa yang cukup mengejek paradigma sepak bola Inggris yang menonjolkan permainan fisik. Ia tidak akan pernah memiliki heroisme Gerrard yang terus berlari-lari sepanjang laga dan menjadi figur paling spektakuler di atas lapangan. Sebagian besar penggemar sepak bola tak akan pernah menyebut Lampard sebagai pemain paling spektakuler di generasinya, meskipun deretan rekor gol, jumlah penampilan beruntun, assist, masuk dalam daftar prestasinya. Alasannya sederhana, ia membuat semua orang berpikir bahwa apa yang ia lakukan tampak begitu mudah. Sebuah penilaian dari Claudio Ranieri yang amat saya setujui. Dan yang membuat saya melihat Lampard semakin luar biasa adalah, ia tidak pernah keberatan dengan gaya permainannya yang mengundang sikap remeh dari banyak pihak tersebut. Sepertinya akan sulit untuk menemukan kembali pemain yang memiliki keefektivitasan seperti dirinya. Dia begitu kukuh dengan identitas permainannya.

Intinya, seperti yang saya tulis sebelumnya, nama Frank Lampard adalah segala sesuatu yang terbaik yang pernah terjadi dalam Revolusi Biru di era Roman Abramovich. Dia dan Chelsea adalah satu koin logam tapi berlawanan sisi. Mourinho pernah berkata bahwa Chelsea tidak mendapatkan respect yang seharusnya didapatkan oleh sebuah tim yang cukup konsisten membawa bendera Inggris di kancah Eropa. Ada dua hal yang menyebabkan hal tersebut, Chelsea tak memiliki sejarah kejayaan yang panjang di masa lampau layaknya Man. United ataupun Liverpool. Kedua, orang-orang terlalu berkonsentrasi membahas uang yang berputar di Stamford Bridge. Tapi, kehadiran Lampard seperti menjadi penetralisir kesinisan tersebut. Ia tangguh sebagai seorang pemain, pribadi yang manis dan sederhana, intelektualitasnya mampu menjangkau rasa hormat dari publik dan media sepak bola. Chelsea akan sangat sulit untuk kembali menemukan pemain dengan profil yang nyaris sempurna seperti itu untuk menjadi simbol dari sebuah klub yang tidak mendapatkan terlalu banyak simpati.

Kecintaan saya terhadap Chelsea dan terutama Frank Lampard, membuat saya termotivasi untuk membuat blog ini pada November 2012. Sungguh, saya tak pernah menyangka bahwa blog ini jugalah yang akhirnya mengantar saya untuk bisa berjumpa dengan Frank Lampard, sesuatu yang bahkan tak berani saya impikan 11 tahun lalu, saat saya mulai jatuh cinta pada Chelsea. Dan, saya bisa katakan, saya bangga dengan cara saya mewujudkan pertemuan saya dengan Frank Lampard cs.

Saya kemudian menghasilkan beberapa tulisan mengenai klub ini, tentang para pemain dan manajer. Sebuah kejadian yang tak saya sangka-sangka terjadi pada Maret 2013. Akun twitter saya tiba-tiba mendapatkan follow back dari akun @chelseafc_indo. Sebuah DM dari akun tersebut menyebutkan bahwa akun saya memiliki pengaruh yang cukup bagus di kalangan fans Chelsea di Indonesia dan mereka meminta kesediaan saya untuk ikut terlibat dalam agenda promosi tour Chelsea ke Jakarta dan meminta alamat email saya. Meskipun saya tak terlalu paham maksudnya, saya tak mungkin menolak.

Sebulan kemudian, saya menerima sebuah email dari salah satu karyawan Chelsea FC di Asia Pasifik yang menjelaskan bahwa saya akan terlibat dalam sebuah kompetisi blogger untuk memenangkan hadiah berupa akses berjumpa dengan para pemain Chelsea saat mereka tiba di Jakarta dan sejumlah merchandise. Saya tak bisa melukiskan perasaan saya saat itu. Saya langsung terburu-buru membayangkan ide-ide tulisan yang akan saya muat di blog saya.

Saya melibatkan banyak fans Chelsea di Indonesia kemudian, CISC Jogja, Nadia, Kiky, Hany, Lulu, untuk menceritakan pengalaman mereka selama menjadi fan Chelsea sebagai bahan tulisan saya. Singkat cerita, saya berhasil memenangkan kompetisi ini dan berhak mendapatkan akses ke sebuah acara Signing Session pemain Chelsea pada tanggal 24 Juli 2013.

Menyadari bahwa saya akan berjumpa dengan Frank Lampard membuat saya sangat bahagia. Tapi, saya juga sadar pengawalan ketat akan membuat fans Chelsea di Indonesia kesulitan berjumpa dengan idola mereka. Mengetahui bahwa rekan-rekan dari akun @lampsindofans memiliki sebuah proyek berupa buku yang berisi dukungan dari fans Lampard, saya pun menawarkan bantuan untuk memberikan buku tersebut ketika saya berjumpa dengan Lampard. Selain saya ingin membuat fans Lampard yang tidak cukup beruntung untuk bertemu dengannya ikut merasakan kebahagiaan, saya juga ingin Lampard mengetahui bagaimana ia telah menjadi salah satu figur yang sangat dicintai oleh fans Chelsea di Indonesia.

Saya berhasil mendapatkan tanda tangan Lampard dan beberapa pemain lainnya di jersey Petr Cech milik saya. Saya juga berhasil memberikan buku tersebut. Saya hanya tidak berhasil mengambil foto dengannya. Sekali lagi, pengawalan ketat selama Chelsea di Jakarta sangat membuat fans kesulitan dan tidak nyaman. Tapi, saya tak marah dengan kenyataan itu. Mungkin akan tiba saatnya nanti saya bisa berfoto dengannya, suatu saat nanti.

Kisah itu sudah berlalu hampir setahun yang lalu. Dan saat mengetahui bahwa Frank Lampard tak lagi menjadi pemain Chelsea FC, saya menyadari satu hal. Saya sangat mencintai Super Frank, Tuhan mengetahui itu dan telah begitu bermurah hati pada saya untuk memberikan saya kesempatan berjumpa dengannya. Saya tidak tahu apakah itu akan menjadi satu-satunya pertemuan saya dengan Lampard, tapi saya sangat berharap saya bisa berjumpa lagi dengannya kelak. Saat ia kembali ke klub ini dan kembali menjadi bagian dari dewan klub, manajemen atau staff pelatih. Entahlah akan butuh waktu berapa lama lagi baginya untuk kembali, saya berharap secepatnya. Tidak akan pernah sama Chelsea tanpanya, dan jujur saja begitu juga rasa cinta saya pada klub ini. Saya pasti akan berhenti bersedih, berhenti menangisi kepergiannya, tapi tetap akan ada sebuah lubang besar yang tak akan pernah bisa diisi oleh siapapun, karena Lampard tak akan pernah bisa tergantikan.

Dan, sebuah pernyataan Jose Mourinho, yang dikenal sangat dekat dengan Lampard, membuat saya semakin tidak sabar menunggu waktu kembalinya sang legenda ke Stamford Bridge. Mourinho menegaskan bahwa seluruh elemen Chelsea, termasuk Roman Abramovich sang pemilik klub, menginginkan dia kembali, dan semuanya akan diserahkan kepada Lampard sendiri untuk memilih posisinya di klub ini. Bahwa, kepergian Lampard sebagai seorang pemain hanyalah sebuah fase break karirnya bersama Chelsea. Mourinho tidak menolak kemungkinan bahwa Lampard bisa menjadi asistennya atau bahkan suksesornya suatu saat nanti.

Saya akan mengambil kutipan Jose Mourinho tersebut, agar saat saya membuka blog ini, saya selalu ingat bahwa Frank Lampard akan kembali dan apa yang diharapkan seluruh bagian klub ini untuknya. Saya berharap itu tak butuh waktu lebih dari dua tahun. Semoga, saat momen itu tiba, antusiasme saya tak pernah berubah untuk menyambutnya kembali, dan saya bisa kembali merasakan lebih berbahagia lagi sebagai fans Chelsea. Karena, salah satu arti penting kebahagiaan saya dalam 11 tahun menjadi fans klub ini adalah kehadiran seorang Frank James Lampard Jr dan segala kisah yang mengiringinya.

“It’s not the end of Frank’s career at Chelsea - it’s just a little break. It’s the end of his career as a Chelsea player, but he will be back for many, many years because he’s one of the most important players in the club’s history.

“You can’t imagine how difficult it was for him to leave.

"I think only he knows because we spoke - not by phone, in person - but at the same time I can feel some happiness about the process because for sure he comes back to Chelsea one day. For sure.

“Everybody wants it, Mr Abramovich - the No.1, the most important person - wants very much Frank to be back, I want him to be back, the staff want him back, so he comes back for sure.

“And the other thing is that he can come back the way he wants.

"Mr Abramovich has left the door completely open for him on the understanding Frank can do anything he wants at this club: he can try things, feel where he is better suited, we can feel as a club where he can give us more, but he can come back when he wants and, to repeat Mr Abramovich’s words, the way he wants.

“He can be a coach, he can start at the academy, he can start being my assistant at the same time because he is doing his coaching badges, or he can start in a different role.

“He can decide in this moment whether he wants to start immediately in a coaching role, or if he wants to be an ambassador, representing the club in important places of our life - he can do what he wants.

“For now, he feels that he still wants to play football for another two or three years, and he is happy to do that because it’s the thing he loves most apart from his family.

“In the middle of the sadness I can feel some happiness because he’s a fantastic person, and I also feel happy because the club recognise that.”

“Sometimes people get older and they find maturity, but Frank has been mature since I met him years ago.

“In terms of the players I have coached, he is my concept of the special midfield player.

"There are specialists like the anchor man, or the No.10 who people call ‘creative’ because he creates but he doesn’t defend.

“For me, Lampard is a No.6 and a No.10 - so he becomes a No.8, and he is not just the best No.8 I’ve managed, but I have not seen a better one in the last decade.

“At the end of the day, in football the only objective is the numbers, and when you go to this man, look at the number of matches he has played, the number of goals he scored, the number of assists, the number of ball recoveries, the areas on the pitch he covered... he was the best for 10 years, not just for me.

"I don’t see another one.” (Jose Mourinho as quoted by Mirror Football)



No goodbye, just I'll see you soon, Frank Lampard! #KTBFFH

READ MORE - Sebuah Tribut Untuk Frank Lampard: Segala Yang Terbaik Yang Pernah Terjadi Untuk Chelsea

03 Mei, 2014

Mengenang 20 Tahun Ayrton Senna

Ayrton Senna (photo by: Daily Mail)

"Siapakah pebalap Formula 1 terbaik sepanjang masa?"

Well, pertanyaan di atas bisa menghasilkan jawaban yang berbeda-beda tergantung kepada siapa Anda menanyakannya. Jika anda menanyakannya pada orang awam yang hanya membaca sesekali berita tentang F1 tentu akan menjawab Sebastian Vettel. Pun begitu jawabannya bila anda bertanya pada orang-orang yang baru menonton F1 2-3 tahun belakangan. Bila anda bertanya kepada saya atau kepada generasi 90-an lainnya, kami dan banyak orang lain di dunia ini bersepakat bahwa jawabannya adalah Michael Schumacher. Jika jawabannya adalah Valentino Rossi, maka silakan anda ulangi pertanyaan itu di tempat lain karena mungkin saja anda bertanya ke komunitas balap yang salah.

Tapi, apabila pertanyaan tersebut disodorkan kepada mereka yang sudah sangat lama menggemari olahraga ini, termasuk para pebalap F1 itu sendiri, mereka akan memunculkan satu nama: Ayrton Senna.

Ah, dari kehampaan di wajah dan kernyitan di dahi kalian saya tahu kalian semua tidak tahu siapa itu Ayrton Senna. Atau jangan-jangan kalian malah baru mendengar namanya dari tulisan ini?

Ayrton Senna da Silva adalah Juara Dunia Formula 1 tiga kali (1988, 1990, 1991). Jika dibandingkan dengan Schumacher yang memiliki 7 gelar Juara Dunia tentu dia lebih inferior. Bahkan gelar Juara Dunia Senna lebih sedikit dari yang dimiliki Sebastian Vettel (4).

Lantas apa yang membuat Senna spesial?

Bagi anda yang mengagungkan Vettel sebagai pebalap muda berbakat, baiknya anda membaca biografi Ayrton Senna. Vettel membalap di tim yang sudah "jadi" dengan mobil yang jauh superior dibandingkan lawan-lawannya. Coba saja anda berikan mobil Vettel kepada pebalap lain, pasti pebalap tersebut secara ajaib menjadi lebih cepat dan susah untuk diovertake. Tapi seperti yang anda lihat musim ini, ketika ada perubahan total regulasi di mana setiap tim harus memulai dari nol, sudah empat seri berjalan dan kemampuan mobilnya menurun jauh. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain merengek pada mekanik untuk melakukan sesuatu pada mobilnya.

Senna adalah orang yang detail. Pada masa itu mobil masih menggunakan transmisi manual dan kecepatannya jauh lebih bengis dari mobil F1 sekarang. Ditambah dengan prosedur keselamatan yang jauh lebih buruk dari sekarang. Sehingga sering terjadi seorang pebalap tewas saat balapan. Dengan itu semua dia membalap, memberi input kepada mekanik, dan tidak akan puas sebelum semua masalah teratasi secara permanen. Anda sudah menonton Rush? Ada adegan di mana Lauda memberi input kepada mekaniknya di garasi dan membuat mobilnya jauh lebih cepat. Senna pun demikian. Dia yang meminta mekanik mengerjakan ini dan itu, memperbaiki area itu, mengupgrade area ini, dan seterusnya.

Gaya membalap Senna luar biasa ngotot. Jika sudah terjadi wheel-to-wheel, dia tidak akan mengerem. Pilihannya adalah memaksa lawannya membiarkan dia lewat atau mereka berdua akan tabrakan. Tidak banyak pebalap F1 sekarang yang seberani dia. Bayangkan jika Senna masih hidup dan mengemudi di Jakarta, berapa banyak pengendara motor yang akan terserempet atau bahkan tertabrak mobilnya. You don't play chicken with Ayrton Senna.
 
Bagi Senna tidak pernah ada kata 'team order'. Rekan satu timnya yang juga sesama Juara Dunia Alain Prost yang paling merasakan hal ini. Rivalitas keduanya bisa diibaratkan seperti Sherlock Holmes dengan Jim Moriarty. Bahkan ketika mereka berdua pindah tim, ada klausul khusus di kontrak Senna yang menyatakan bahwa Senna tidak mau membalap satu tim lagi dengan Prost. Apabila film Rush mau dibuat sekuelnya, mungkin Senna vs Prost ini akan sangat pas.

Siapa yang bisa lupa GP Prancis 92 di mana Schumacher muda menabrak Senna dan mengakibatkan Senna gagal finish? Selepas balapan Senna menghampiri Schumi dan berbicara empat mata.

"If you have a problem then come and talk to me. But don't ever to that again."


Sejak saat itu, mereka berdua terlibat rivalitas hingga saat kematian Senna di GP San Marino 94 (Senna saat itu sedang memimpin lomba diikuti oleh Schumacher di belakangnya).

Tujuan Senna cuma satu, setiap ada gap yang terbuka lebar, tugas dia adalah menghilangkan gap tersebut. Dia membalap untuk menjadi nomor satu, bukan untuk menjadi yang kedua, ketiga, atau keempat.

Jiraiya dari Konohagakure pernah berkata, "Jika anda ingin melihat kualitas seseorang, jangan ketika dia hidup. Tapi lihat bagaimana ketika dia meninggal." Ayrton Senna tewas saat balapan di Imola tahun 1994. Jutaan orang menangisi kematiannya. Brasil mengumumkan tiga hari berkabung. Dan semenjak itu, regulasi balap diubah total, aspek keselamatan menjadi yang utama. Sirkuit Imola yang membahayakan itu direnovasi ulang. Terbukti sejak kematiannya, belum ada lagi pebalap F1 yang tewas di lintasan.

Ayrton Senna adalah pebalap yang spesial dan mungkin tidak ada lagi pebalap yang bisa menyamainya baik di dalam dan luar lintasan. Namanya akan tetap hidup bahkan bertahun-tahun setelah kematiannya.

Jadi, bagaimana jika pertanyaan di atas tadi ditanyakan kepada Juara Dunia tujuh kali, Michael Schumacher? Jawabannya adalah: "Ayrton Senna".


READ MORE - Mengenang 20 Tahun Ayrton Senna

18 April, 2014

Nemanja Matic, Sentuhan Terakhir Mourinho Untuk Masa Transisi Chelsea


Nemanja Matic

Tak hanya Jose Mourinho yang kembali bereuni dengan Chelsea musim ini. Salah satu pemain yang menjadi kunci performa impresif Chelsea di paruh kedua musim 2013-14, Nemanja Matic, juga menjalani kehidupan keduanya di Stamford Bridge. Gelandang Serbia itu kembali setelah Mourinho meminta manajemen Chelsea untuk menggelontorkan uang sebesar 22 juta Pounds dengan durasi kontrak lima setengah tahun pada jendela transfer musim dingin 2014.

Ya, Matic sebelumnya pernah berseragam Chelsea. Didatangkan dari MFK Kosice pada awal musim 2009-2010 dengan nilai transfer 1,5 juta Pounds, karir pertamanya di Chelsea tidak mulus. Ia hanya tiga kali memperkuat Chelsea sepanjang musim tersebut dan kemudian dipinjamkan ke Vitesse Arnhem pada Agustus 2010. Setelah empat bulan bermain untuk Vitesse, Matic kemudian menjadi bagian kesepakatan antara Chelsea dengan Benfica dalam pembelian bek enerjik asal Brasil, David Luiz. Chelsea merelakan Nemanja Matic dan uang sebesar 21 juta Pounds untuk ditukar dengan jasa David Luiz.

Di Benfica, keputusan Jorge Jesus untuk mengubah peran pemain kelahiran 1 Agustus 1988 sebagai playmaker menjadi gelandang bertahan mungkin akan menjadi hikmah terbesar yang pernah terjadi dalam karir sepak bolanya.

Menurut penuturan Matic, Jorge Jesus memintanya menjadi gelandang bertahan karena menurut sang pelatih ia bisa bermain lebih baik di posisi tersebut. Pemain yang kini mengenakan nomor punggung 21 di Chelsea mengaku bahwa ia tidak bermain bagus di posisi itu pada awalnya. Namun, berkat kepercayaan dan ilmu taktik dari sang pelatih, ditambah porsi latihan ekstra, dan menghabiskan waktu di gym lebih banyak usai latihan, Matic pun bertransformasi menjadi salah satu gelandang bertahan paling berpotensi di Eropa.



Singkat cerita, sebelum akhirnya Chelsea memutuskan untuk membawanya kembali di Januari 2014 lalu, Matic meraih pencapaian individu yang cukup membanggakan. Ia memang tidak sukses membawa Benfica juara Liga Portugal dan bahkan gagal mengangkat piala di ajang Eropa setelah Benfica kandas di tangan Chelsea pada final Liga Europa musim lalu. Namun, ia menerima penghargaan individu sebagai Primeira Liga Player of the Year setelah memenangkan penghargaan pemain terbaik bulanan sebanyak tiga kali di musim 2012-13.

Kisah Matic bersama Chelsea jilid kedua sangat berbeda bak langit dan bumi. Mourinho menjadikan Nemanja Matic sebagai kepingan puzzle terakhir untuk melengkapi transisi permainan Chelsea di lini tengah. Sudah bukan rahasia lagi, jika Mourinho memang tak pernah setuju dengan arah transisi permainan Chelsea yang mulai diusung oleh Andre Villas-Boas.


“I don’t like the way Chelsea were playing the last couple of years, the club doesn’t like it and we want to change. We want to play a different style." - Jose Mourinho, Sept 20, 2014.


The Happy One pun mulai mengeksekusi gagasan-gagasannya untuk membentuk Chelsea yang lebih ideal menurut filosofinya yang mengedepankan permainan taktis dan kedisiplinan dalam membangun pertahanan. Catatan buram pertahanan Chelsea pada musim 2011-12 (46 kebobolan gol) dan 2012-13 (kebobolan 39 gol), merupakan jumlah kebobolan tertinggi sepanjang era Roman Abramovich, adalah sesuatu yang tidak ingin diulang oleh Mourinho. (Bandingkan dengan catatan Chelsea musim ini, dimana setelah menjalani 34 laga, mereka baru kebobolan 24 gol!).

Tugas Mourinho tak sekedar menentukan kombinasi terbaik dari tiga gelandang serang yang bertugas di belakang striker. Namun, ia juga harus menemukan jawaban dari kombinasi duet gelandang tengah untuk menemukan keseimbangan tim.

Di awal musim ini, eks pelatih Porto, Inter Milan dan Real Madrid mempercayakan duet pivot pada kombinasi Ramires dan Lampard. Namun, kendala terbesar dari duet ini adalah Lampard, yang sudah berusia 35 tahun, tidak mungkin menjadi bagian utama dari rencana jangka panjang Mourinho. Lagipula, pada dasarnya Lampard bukanlah seorang gelandang bertahan murni. Jika ada satu hal yang bisa menyelamatkan nilai Lampard sebagai gelandang bertahan, maka itu adalah kecerdasan otaknya yang masuk dalam kategori di atas rata-rata. Ia bisa membaca serangan lawan sekaligus menentukan arah permainan timnya. Jika dalam kondisi yang cukup fit, tubuh dan otaknya bisa bersinergi untuk berada di posisi yang tepat sepanjang laga. Untuk menyiasati kondisi fisik Lampard, Mou terkadang memberikan kesempatan pada Mikel untuk bergantian mengisi posisi Lampard. Sayangnya, style Mikel yang cenderung memperlambat tempo permainan, tentu tidak cocok disandingkan dengan kecepatan yang dimiliki attacking midfielders Chelsea, seperti Eden Hazard dan Willian. Marco van Ginkel mengalami cedera yang memaksanya absen hingga tujuh bulan, Michael Essien telah melewati masa keemasannya.

David Luiz? Menempatkan Luiz sebagai gelandang bertahan sepertinya tak pernah menjadi rencana utama Mourinho. Pasalnya, di awal musim David Luiz menjadi bagian dari seleksi Mourinho untuk mencari kombinasi terbaik bek tengah. Mourinho harus melalui perjalanan yang cukup sulit sebelum akhirnya menemukan kombinasi terbaik Gary Cahill dan John Terry. Sebagai contoh, dari sepuluh laga awal yang dijalani Chelsea musim ini (di Premier League dan Champions League), Mourinho memasang tiga kombinasi bek tengah yang berbeda, Cahill-Terry, D. Luiz-Cahill dan Terry-D. Luiz.

Tapi kemudian, sebuah kondisi yang mendesak membuat David Luiz menjadi starter bersama Frank Lampard sebagai duet di lini tengah dalam sebuah laga menarik di Stamford Bridge melawan Liverpool di akhir tahun 2013. Ramires harus absen karena akumulasi kartu. Tapi performa mengejutkan justru ditampilkan Chelsea. Kombinasi Lampard dan Luiz berperan penting membuat Chelsea unggul 2-1. Sayang, duet ini hanya bertahan 45 menit karena Lampard cedera, sementara David Luiz mendapatkan kartu kuning yang membuatnya tak bisa bermain saat melawan Southampton. Chelsea menang 2-1, dan ini menjadi awal bagi David Luiz mendapatkan kepercayaan bermain sebagai gelandang di era kepelatihan Jose Mourinho. Tapi, satu performa mengesankan belum tentu menghasilkan kepercayaan instan.

Duo Serbia, Branislav Ivanovic dan Nemanja Matic

Dengan kondisi di atas, menurut saya, pembelian Nemanja Matic atau pemain dengan posisi gelandang bertahan, bukanlah sesuatu yang direncanakan Mourinho secara mendadak. Dengan kian gencarnya wacana Financial Fair Play, membeli beberapa pemain sekaligus di awal musim tanpa melakukan penjualan adalah sesuatu yang bisa membuat Chelsea berada dalam kondisi sulit di kemudian hari. The Blues telah menghabiskan dana yang cukup besar untuk membeli Willian, Marco van Ginkel dan Andre Schuerrle. Mourinho memang terkesan tidak tergesa-gesa untuk membentuk skuad ideal dalam proyek jangka panjangnya. Mourinho sekarang tampak lebih bersabar dalam menjalankan tugasnya dan memberikan waktu untuk semua pemain membuktikan diri bahwa mereka layak mendapatkan kepercayaan untuk memainkan skema permainan sang bos. Di sisi lain, Mou tampaknya paham bahwa siapapun pemain yang akan masuk dalam rencana penjualan, apakah itu di jendela transfer musim dingin atau musim panas, pasti akan dibanderol dengan harga besar. Pembelian Willian dan Andre Schuerrle adalah sebuah tanda bahwa Mourinho harus menjual gelandang serang Chelsea yang lain.

Kesempatan emas pun datang pada jendela transfer musim dingin saat Man. United menawarkan 37 juta Pounds demi membeli Juan Mata. Ditambah dengan penjualan Kevin de Bruyne ke Wolfsburg yang mencapai 18 juta Pounds, secara matematis pembelian Nemanja Matic (22 juta Pounds) dan Mohamed Salah (15 juta Pounds) membuat Chelsea untung sekitar 18 juta Pounds.

Matic tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan tempat di tim utama Chelsea. Meski hanya bermain sebagai pemain pengganti saat Chelsea menaklukkan Man. United 3-1 dan bermain imbang 0-0 melawan West Ham, Matic turun sebagai starter saat Chelsea melawan Manchester City pada 3 Februari 2014. Sebuah laga yang eksklusif mengingat City belum pernah kalah di Etihad dan juga menjadi kandidat juara. Chelsea menang tipis 0-1 lewat gol Branislav Ivanovic.

Nemanja Matic menjadi Man of the Match berkat performa impresifnya yang sukses meredam kecerdikan lini tengah Manchester City yang dipimpin Yaya Toure. Dalam laga ini, menurut catatan statistik squawka.com, Matic mencetak 10 clearance, satu block dan tiga intersep. Jelas, pemain dengan tinggi 194 cm ini berperan penting menjadikan The Blues sebagai tim pertama yang tidak kebobolan di Etihad dalam tiga tahun terakhir!

Jika catatan satu laga tidak cukup menjelaskan peran seorang Nemanja Matic, maka bisa dilihat bagaimana perannya dalam 13 laga Premier League yang sudah dijalaninya bersama Chelsea. Sebelum ia datang, Chelsea kebobolan 19 gol dalam 21 laga Premier League. Bandingkan catatan anak buah Mourinho setelah kedatangan Matic, Chelsea hanya kebobolan lima gol dan mencetak delapan kali clean-sheets. Kian solidnya kuartet bek Ivanovic, G. Cahill, J. Terry dan Azpilicueta juga menjadi faktor lain kenapa gawang Chelsea sulit dibobol lawan.

Secara keseluruhan, Matic sudah mencetak 51 clearance, lima block dan 28 kali intersep. Salah satu kelemahan yang cukup menonjol dari Matic adalah kemampuan tacklingnya. Dari 73 tackling yang sudah dilakukannya, hanya 23 yang sukses. Dengan tipikal Liga Inggris yang cepat dan sangat mengandalkan fisik, kekurangan Matic dalam hal tackling harus segera diperbaiki.

Di sisi lain, walaupun belum mencetak gol, Matic menunjukkan peningkatan kinerja dalam membantu rekan setimnya untuk membangun serangan dan mencetak gol. Dari empat laga terakhir The Blues, Matic mencetak empat assist (dua saat menang 6-0 melawan Arsenal, sementara satu assist saat 3-0 melawan Stoke City dan menang 0-1 melawan Swansea), sementara sembilan dari 12 key passes yang sudah ia cetak, dilakukan dalam lima laga terakhir.

Mourinho menunjukkan kepada semua orang betapa sulit tugas yang harus ia kerjakan musim ini. Menemukan kombinasi yang tepat di setiap lini dengan mengubah starting XI dalam setiap pertandingan, tapi sekaligus dituntut untuk meraih kemenangan. Rotasi tak boleh menjadi satu-satunya alasan, karena The Blues memang dipenuhi bakat menawan. Setiap pemain layak mendapatkan kesempatan, meskipun hanya 11 yang bisa menjadi pilihan.

Nemanja Matic adalah sentuhan terakhir Mourinho untuk masa transisi Chelsea. Setelah menemukan kombinasi gelandang serang yang cocok dengan skema permainannya dan empat bek yang kokoh dalam bertahan, Mou mendatangkan Matic untuk menjadi penyeimbang dua lini. Mampu membaca permainan lawan, memotong umpan, sekaligus sigap menjaga lini pertahanan saat dibutuhkan. Akurasi umpan Matic juga lumayan (mencapai 84 persen), menandakan bahwa kakinya juga mampu merasakan kehadiran rekan-rekannya sekaligus menyatu dengan tempo permainan Chelsea yang sudah mengandalkan kecepatan.

Jika permainannya konsisten dan tidak terhalang cedera, apalagi Serbia tidak lolos ke putaran final Piala Dunia 2014, Nemanja Matic bisa menjadi pemain kunci yang menentukan nasib Chelsea musim depan. Ia bisa bermain di kompetisi elit Eropa dan membuktikan diri sebagai salah satu gelandang bertahan terbaik dunia.

Ah (Jorge) Jesus, kau memang 'juru selamat' Matic.......


READ MORE - Nemanja Matic, Sentuhan Terakhir Mourinho Untuk Masa Transisi Chelsea

26 Januari, 2014

Transfer Juan Mata ke Old Trafford: Keputusan Cepat di Momen Yang Tepat

Juan Mata akhirnya berlabuh ke Old Trafford setelah dalam dua setengah tahun terakhir menjadi idola baru publik Stamford Bridge dan fans Chelsea di seluruh dunia. Meninggalkan begitu banyak memori manis, Juan Mata membuat fans Chelsea terlalu cepat memadamkan euforia mereka setelah Chelsea sukses menggulung Man. United 3-1 beberapa hari sebelumnya.

Kejutan yang datang dari nama Juan Mata bukan hanya perkara transfernya ke Old Trafford. Sebenarnya sejak awal musim, di bawah kepelatihan Jose Mourinho, nasib Mata yang berbalik 180 derajat membuat banyak orang terkejut. Dinilai sebagai pemain yang merintis transformasi dalam tubuh tim yang mengutamakan permainan fisik dan efektif, Mata justru harus menerima kenyataan dirinya tak lagi menjadi pilihan utama pelatih baru.

Identitas permainan Juan Mata sepertinya tak begitu cocok di mata Mourinho. Bahkan di saat dirinya tampil bagus pun, tak mudah bagi Mourinho untuk mengubah keputusannya untuk tetap memainkan Oscar sebagai playmaker baru Chelsea. Oscar memiliki beberapa hal yang disukai Mourinho dengan atribut dalam kemampuan bertahan. Tackling, efektivitas permainan, daya jelajah yang lebih baik, Oscar dianggap Mou lebih mumpuni dalam skema permainan miliknya, yang mereduksi 'agresivitas ugal-ugalan' namun menciptakan keseimbangan sistem pertahanan. Dibandingkan Hazard dan Willian pun, Juan Mata kalah dari segi atletisme, fisik, kecepatan, atribut-atribut penting yang harus dimiliki pemain yang menjalankan skema Mourinho.

Tak banyak kesempatan pula yang diberikan Mourinho untuk membuat Mata bisa membuktikan diri. Itu hal yang bisa dimaklumi. Mourinho terus mencari komposisi terbaik dari timnya, bahkan hingga sekarang. Seorang pelatih bisa mengubah komposisi pemain di setiap pertandingan, tapi pelatih berkualitas akan selalu bisa menyimpulkan satu kelompok pemain yang mampu menjalankan visi dan misinya. Konsistensi hanya bisa dibentuk jika kita melakukan sesuatu secara rutin, tak peduli bahwa akan ada periode buruk dimana orang-orang akan mulai menilai bahwa rencana anda bisa jadi gagal. Konsistensi tidak dibentuk dalam semalam.

Bagi saya pribadi, bursa transfer bulan Januari 2014 memang menjadi waktu paling tepat bagi Juan Mata untuk hengkang. Saya tidak sakit hati saat mengetahui, lewat konferensi pers Jose Mourinho jelang laga Piala FA versus Stoke City, bahwa Juan Mata langsung bersedia pindah saat tawaran dari Man. United datang. Bagi saya, penjualan Mata di pertengahan musim ini justru akan memberikan banyak keuntungan untuk Chelsea, Juan Mata dan Man. United. Tak ada yang mendapatkan kerugian dari transfer ini jika dilihat dari beberapa segi. Mengapa bisa begitu? Menurut saya, inilah alasannya:


1). Mempertahankan nilai atau harga sang pemain

Dalam hal ini kita bicara soal keuntungan yang harus diambil Chelsea. Juan Mata sudah cukup rutin menjadi pemain cadangan di paruh pertama musim ini. Enam bulan bukanlah waktu yang panjang untuk membuat semua orang mengingat betapa fantastis bakat yang dimiliki Juan Mata.

Tapi, jika Juan Mata pergi di akhir musim, penilaian yang kurang adil akan datang. Harga Juan Mata tak lagi dinilai dari bakat dan perannya untuk Chelsea selama musim 2011-12 dan 2012-13. Pasar akan berbicara mengenai seorang pemain yang tidak menjadi pilihan utama dalam SETAHUN terakhir. Harga Juan Mata bisa lebih rendah dari penawaran yang diajukan Man. United, yang diakui sendiri oleh Setan Merah memecahkan rekor pembelian klub.


2). Peluang untuk tampil di Piala Dunia 2014 bersama Timnas Spanyol

Sejujurnya saya tak mengerti apakah Juan Mata memiliki peluang yang cukup besar untuk bisa terseleksi ke Timnas Spanyol di Piala Dunia 2014. Tapi kondisi beberapa gelandang Spanyol musim ini juga tidak seberapa bagus. Misalnya, David Silva, Santi Cazorla, Andres Iniesta, yang bermasalah dengan cedera di awal musim ini.

Juan Mata memiliki kesempatan untuk mencuri perhatian Del Bosque jika saja Mourinho memberinya kesempatan bermain lebih sering. Tapi, kesempatan itu sangat minim, Juan Mata tidak bisa memanfaatkan situasi yang sebenarnya sudah cukup berpihak kepadanya. Bermain di Manchester United akan membuka peluangnya kembali, mengingat Setan Merah bermain tanpa visi di lini tengah. Ya, Juan Mata bisa saja jadi ikon baru di lini tengah sang juara bertahan.


3). Mengurangi tekanan untuk Jose Mourinho

Beberapa fans Chelsea yang terus mengkritik keputusan Jose Mourinho mengenai Juan Mata, tak akan pernah bisa merasakan tekanan hebat yang ada dalam diri Mourinho.

Kedalaman skuad Chelsea musim ini memang bagus. Tapi yang jadi masalah, apakah Mourinho yang memutuskan membeli semua pemain yang ada? Bukan. Mourinho datang ke Chelsea dengan kondisi skuad yang sudah padat [kecuali striker]. Tekanan yang diterima Mourinho musim ini adalah hasil dari keputusan manajer atau dewan klub sebelumnya yang mendatangkan sejumlah pemain muda dengan talenta luar biasa, tapi tidak bersikap realistis. Ambisi Chelsea untuk mengubah wajah mereka menjadi tim yang bermain seperti Barcelona membuat Mourinho harus melakukan evaluasi. Bermain indah tapi efektif, bisa menang tanpa harus terus mendominasi penguasaan bola. Ini adalah fondasi permainan Chelsea, kalau ingin melakukan perubahan maka lakukan dengan perlahan, tanpa harus menghilangkan identitas itu sepenuhnya.

Dalam sebuah tulisan saya mengenai pemecatan Roberto Di Matteo, saya jelas mengkritik kebijakan Chelsea yang terlalu banyak menumpuk pemain bertipe playmaker dalam satu tim, memaksakan mereka semua turun bersamaan. Hasilnya? Lihat sendiri bagaimana buruk Chelsea di Premier League dalam dua musim terakhir. Jika sistem permainan Chelsea begitu istimewa dalam dua musim terakhir, silahkan bertanya mengapa Mourinho masih harus mendatangkan Willian dan Andre Schurrle.

Akhirnya, Mourinho harus melakukan eksekusi kejam terhadap nasib pemain-pemain seperti Kevin de Bruyne dan Juan Mata yang harus dilepas ke klub lain. Mourinho harus menanggung perbuatan Chelsea dalam dua musim terakhir dengan membuat beberapa keputusan sulit: menjual pemain berkualitas.

Begitu seringnya orang mengkritik keputusan Mourinho tentang Juan Mata, mereka lupa memberikan kredit kepada Mou yang telah mengembangkan level permainan Eden Hazard, Oscar dan Gary Cahill. Mourinho berjasa besar dalam mengembalikan performa John Terry, mengembalikan status Chelsea sebagai pesaing gelar musim ini. Mengatakan terima kasih adalah hal yang paling mudah untuk dilakukan fans Chelsea kepada Mourinho musim ini.


4). Manchester United akan berperan besar dalam penentuan gelar juara

Chelsea berada dalam posisi terbaik mereka di perburuan gelar dibandingkan dalam dua musim terakhir. Arsenal dan Man. City juga terus menunjukkan konsistensi. Manchester United? Saya tidak tahu apakah mereka masih memiliki peluang untuk menjadi juara, tapi posisi empat besar jelas menjadi target yang sangat realistis.

Kedatangan Juan Mata dinilai bisa memperkuat Man. United di paruh kedua musim ini. Yang menarik, Chelsea sudah bertemu dua kali dengan Setan Merah di Premier League, sementara Manchester City dan Arsenal masih harus bertemu sekali lagi dengan United. Kalaupun Man. United tidak menjadi juara, mereka bisa menjadi faktor penentu siapa yang akan menjadi juara musim ini. Rivalitas United dengan City dan Arsenal jauh lebih sengit dibandingkan dengan Chelsea. Artinya, motivasi United untuk untuk menggagalkan ambisi kedua tim tersebut menjadi juara tentu lebih besar.

Intinya, Chelsea membutuhkan Man. United untuk mengalahkan Arsenal, Man. City dan Liverpool. Man. United membutuhkan 'kekuatan lebih' untuk bisa mengembalikan posisi mereka ke zona Liga Champions. Ini adalah transfer yang bisa dikategorikan sebagai simbiosis mutualisme. Tapi, bagi Manuel Pellegrini dan Arsene Wenger, transfer Juan Mata ke Man. United adalah konspirasi yang tidak bisa dibuktikan :))


5). Man. United berada di awal masa transisi

Hingga detik ini pasukan David Moyes tetap bermain dengan formasi konservatif 4-4-2 dan sekarang memutuskan untuk membeli gelandang modern seperti Juan Mata. Apakah David Moyes mempersiapkan perubahan?

Saya tidak tahu. Saya bahkan tidak bisa mendefinisikan secara tepat apa yang sebenarnya dilakukan David Moyes sebagai seorang juru taktik di Manchester United saat ini. Tak semua kesalahan dilimpahkan kepadanya mengingat faktor pemain cedera memang sangat mengganggu langkah United saat ini. Motivasi para pemain tidak terlihat saat berada di atas lapangan. Never say die attitude sepertinya tak lagi menjadi jargon Setan Merah. Tidak ada sebuah perbedaan antara kenapa Man. United bisa meraih kekalahan dengan kemenangan. Saya juga tidak melihat adanya perbedaan antara kemenangan yang diraih dalam satu laga dengan kemenangan di laga lainnya. Biasanya, hanya karena satu hal, lawan tidak bermain lebih baik dari United. Itu saja.

Jadi inilah kondisi di awal transisi Setan Merah. Bermain tanpa karakter yang kuat. Jika ingin mulai mengubah situasi, Juan Mata mungkin bisa menjadi salah satu angkatan perintis, seperti yang dilakukannya bersama Chelsea di tahun 2011.

Saya setuju saat Gary Neville mengatakan bahwa Juan Mata tak akan cocok dengan sistem permainan United saat ini, yang mengandalkan formasi 4-4-2 dan menggunakan dua winger dan dua gelandang yang tipikalnya lebih bertahan. Dua posisi di lini depan sudah nyaris pasti dihuni RvP dan Wayne Rooney. Akan ditaruh dimana Juan Mata?

Persoalan yang menurut saya hanya bisa dipecahkan jika David Moyes memang berencana untuk melakukan perubahan dalam gaya bermain United. Apakah David Moyes siap mengakomodasi skill Mata dengan memainkan konsep 'lima pemain di belakang satu penyerang tengah'? Yang harus digaris bawahi adalah bahwa United memiliki dua striker yang bisa bermain di kedalaman lapangan, RvP dan Wayne Rooney. Itu artinya, kedua pemain ini akan tetap bisa masuk ke skema 'lima pemain di belakang satu penyerang tengah'. Baik Rooney maupun RvP masing-masing bisa menjadi penyerang tengah di saat yang lainnya menjadi satu di antara lima pemain yang berada di belakang penyerang.

Hanya saja, menurut saya, skema di atas hanya bisa dijalankan mulai musim depan. Sekarang, Juan Mata punya waktu empat bulan untuk beradaptasi dengan atmosfer di Man. United dan memicu daya kreatifitas di skuad Man. United serta memberikan waktu kepada David Moyes untuk memikirkan wacana baru dalam timnya.


Sebagai fans Chelsea saya tentunya sedih harus melihat pemain dengan kontribusi seperti Juan Mata pergi ke klub rival. Tapi, saya juga mengakui bahwa saya risih dengan tekanan yang didapatkan Jose Mourinho dan skuad The Blues terkait minimnya kesempatan bermain yang diberikan kepada Juan Mata. Sikap sebagian fans [dan juga jurnalis sepakbola] yang tidak fokus mendukung timnya dan lebih suka berlarut-larut memperdebatkan keberadaan Juan Mata, membuat Mourinho dan anak buahnya tak mendapatkan apresiasi yang seharusnya mereka dapatkan dari fans mereka sendiri.

Kesedihan saya terhapuskan karena beberapa hal dan itu semua sudah diungkapkan oleh Jose Mourinho. Bahwa Juan Mata mendapatkan tawaran yang menghormati nilainya sebagai seorang pemain. 37 juta Pounds menggambarkan bagaimana Man. United memiliki rasa hormat kepada Mata (walaupun, di sisi lain saya berpikir bahwa harga itu juga menggambarkan kepanikan Setan Merah). Bahwa Juan Mata mendapatkan tawaran dari klub yang layak mendapatkannya. Saya selalu menghormati kultur Manchester United yang selalu berpijak untuk kepentingan jangka panjang. Selalu ada waktu untuk setiap orang yang berada di klub ini untuk melakukan kesalahan dan memperbaikinya. Juan Mata layak mendapatkan kesempatan dalam waktu yang lama untuk membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi salah satu pesepakbola terbaik yang pernah bermain untuk The Red Devils.


 Adios y muchas gracias, Juan Mata!

NB: Terima kasih untuk @MaleSoccer, dan rekan-rekan dari @indomanutd dan @IndoManUtd_SRBY yang juga memuat tulisan saya di blog mereka. Ini link tulisan saya di blog mereka: http://blog.indomanutd.org/index.php/transfer-juan-mata-ke-old-trafford-keputusan-cepat-di-momen-yang-tepat/ 
READ MORE - Transfer Juan Mata ke Old Trafford: Keputusan Cepat di Momen Yang Tepat