Sebulan yang lalu saya mendapatkan kesempatan untuk memberikan opini saya sebagai fans Chelsea ke dalam bentuk tulisan dari salah satu redaksi majalah sepakbola, Four Four Two Edisi Indonesia. Saya pun mengiyakan dan punya waktu empat hari untuk menuliskan opini saya dengan batasan tiga sampai empat halaman A4. Saya berakhir dengan tulisan sebanyak lima lembar A4 dan saya harus mengeditnya. Saat tulisan ini diterbitkan di edisi bulan November 2013, bahkan masih ada beberapa bagian lagi yang diedit dan saya tentu bisa memahaminya. Terima kasih untuk Four Four Two Indonesia dan Stara Anna (@StaraAnna), teman saya sesama fans Chelsea yang mengajukan nama saya ke redaksi.
Jadi, saya menuliskan versi utuh opini saya itu di blog saya, dengan sedikit sekali tambahan agar tidak terkesan basi karena ada beberapa kejadian lagi setelah tulisan ini dibuat medio Oktober lalu. Jadi, silahkan menikmati. Opini dan komentar akan semakin bagus untuk tulisan-tulisan saya selanjutnya. Terima Kasih!
Saat isu kembalinya Jose Mourinho ke Stamford Bridge mulai berhembus sekitar medio Maret lalu, sebagian besar fans Chelsea di seluruh dunia sangat antusias menyambut isu tersebut. Tujuh tahun meninggalkan Chelsea, kerinduan terhadap Jose Mourinho masih begitu besar. Chelsea begitu sering berganti manajer di era Roman Abramovich dan kapanpun hal itu terjadi, masih banyak fans Chelsea yang membayangkan suatu saat Mourinho akan duduk di 'kursi paling panas' dalam dunia sepakbola saat ini.
Jadi, saat Chelsea FC
mengumumkan bahwa Jose Mourinho resmi kembali ke tempat yang selalu disebutnya
sebagai rumah, sebagian besar fans Chelsea sangat, sangat bahagia, tapi mungkin
tidak terkejut. Kenapa? Sebelumnya, semua orang sudah membicarakan The Special
One akan kembali ke Chelsea, Mourinho mengaku bahwa dirinya tak akan bertahan
di Real Madrid untuk musim berikutnya dan Rafael Benitez mengatakan di hadapan
pers bahwa semua orang tahu siapa yang akan duduk di kursi manajer Chelsea
musim 2013-14!
Salah satu akun twitter
fans Chelsea, @franklampardUK,
menyebutkan, 'Mourinho's return might
just be the worst-kept secret of all time. #ComingHome.' (17 Mei 2013). Ya,
bahwa kembalinya Mourinho itu seperti sesuatu yang dirahasiakan dengan sangat
buruk yang pernah ada, karena semua orang seperti sudah mengetahuinya jauh-jauh
hari sebelum Chelsea FC mengumumkan berita tersebut di awal Juli 2013!
Citra seorang Mourinho
dari segi personal tak pernah berubah sedikitpun. Dia tetap seorang manajer
yang sangat terbuka dalam berkomunikasi, optimistis tentang segala kekuatan
yang dimilikinya dan sebenarnya, menurut saya, Mourinho sangat humoris. Tapi,
dari segi profesional, Mourinho kembali ke Chelsea dengan sejumlah pengalaman
berharga yang tak dimilikinya saat datang di tahun 2004. Prestasinya di
Internazionale dan Real Madrid mau tak mau membuatnya menanggung sebuah
ekspektasi yang jauh lebih tinggi untuk membawa Chelsea kembali menggeliat
sebagai penantang juara Premier League.
Ya, Premier League.
Saya tidak mencantumkan kompetisi Liga Champions sebagai tolok ukur kesuksesan
seorang manajer atau sebuah tim. Bagi saya kompetisi domestik dengan 38
pertandingan kandang-tandang adalah sebuah sistem yang ideal untuk mengukur
kualitas tim yang sebenarnya. Tantangan reguler yang disajikan tiap pekan
membuat klub yang menjadi juara di akhir musim bisa dinilai sebagai tim dengan
persiapan terbaik, skuad terbaik dan konsistensi terbaik.
Jika, ada yang menilai
kualitas Liga Champions di atas kompetisi domestik seperti Premier League, La
Liga ataupun Bundesliga, saya bisa mengatakan Liga Champions unggul dari segi
gengsi saja karena mengumpulkan tim-tim terbaik dari tiap kompetisi Liga di
Eropa. Namun, saat berkompetisi di kancah domestik pun, tim-tim seperti
Chelsea, Man. United, Arsenal dan Man. City kerap menelan kekalahan dari
tim-tim medioker yang bahkan bukan peserta Liga Champions. Tidak ada fase knock
out, dimana harapan anda untuk menjadi juara langsung dihabisi dalam dua match
yang menentukan. Untuk menjadi juara di Liga Champions, faktor keberuntungan
yang dibutuhkan lebih besar dibandingkan untuk menjadi juara Premier League.
Kembali lagi ke Chelsea
dan Jose Mourinho. Tantangan yang diterima Mou tak main-main. Skuad Chelsea
telah mengalami banyak perubahan signifikan, terutama dalam dua tahun
terakhir. Bagi saya sebenarnya semua
dimulai ketika Chelsea membeli David Luiz dan Ramires di era Carlo Ancelotti.
Dari pembelian dua pemain Samba tersebut, saya sudah mencium gelagat bahwa
manajemen Chelsea tengah membangun sebuah rencana untuk membentuk The Blues
menjadi tim dengan karakter yang berbeda, intinya bermain lebih fleksibel dan
meninggalkan sepakbola fisik peninggalan Jose Mourinho dan Liga Inggris itu
sendiri, sebenarnya. Dilanjutkan dengan penandatanganan Juan Mata (2011), Eden
Hazard, Oscar, Marko Marin (2012), semakin jelas bahwa Chelsea memang ingin
merubah wajah mereka.
Sayangnya, tak ada
satupun manajer yang benar-benar sukses membangun konsistensi dalam proses
perubahan ini. Andre Villas-Boas dipecat setelah hanya menjalankan tugas selama
tujuh bulan dengan segala kegagalannya dari segi teknis dan membangun hubungan
baik dengan pemain senior, dimana itu adalah hal yang sangat fatal. Lampard mengatakan bahwa kesalahan utama Villas-Boas adalah terlalu memikirkan masa depan, tanpa mempertimbangkan apa yang diraih skuad Chelsea saat itu. Mungkin ini ada benarnya, karena dengan deretan pemain top, tuntutan untuk menjadi juara selalu ada.
Juara setelah penantian panjang di era Roman Abramovich. Chelsea layak beruntung |
Roberto Di
Matteo memang sukses membawa Chelsea menjadi juara Liga Champions dan Piala FA,
tapi Chelsea berakhir di peringkat enam Premier League dan di musim selanjutnya
Chelsea malah tak lolos dari fase grup Liga Champions dan performa yang menurun
di Premier League usai kekalahan 2-3 dari Manchester United. Awal yang
mengesankan di sembilan laga awal Premier League musim 2012-13 tak lepas dari lawan-lawan Chelsea di Premier
League yang saat itu standarnya memang di bawah Chelsea, tapi ketika Chelsea
harus menghadapi tim sekelas Juventus, Shakhtar Donetsk dan Atletico Madrid (di
Liga Champions dan Super Eropa), terlihat jelas bahwa Chelsea sebenarnya tak setangguh yang
dibayangkan banyak orang saat itu dan itulah kenapa saya setuju dengan
pemecatan Roberto Di Matteo. Tapi, saya tetap menghormatinya.
Rafael Benitez juga tak
terlalu mengesankan. Chelsea harus bertarung hingga pekan ke-37 untuk
memastikan tiket Liga Champions musim ini dengan mengalahkan Aston Villa.
Chelsea akhirnya berada di posisi ketiga klasemen akhir 2012-13 setelah
mengalahkan Everton di laga terakhir. Rafael Benitez di mata saya terlalu
'serius' menghadapi kompetisi-kompetisi seperti Piala FA dan Liga Europa dan
pada akhirnya agak mengorbankan performa Chelsea di Premier League. Contohnya
saat mereka harus menjalani laga kontra Southampton di Premier League pada
akhir bulan Maret 2013, dua hari sebelum partai replay melawan Manchester
United di perempat final Piala FA. Chelsea masih membutuhkan poin untuk bisa
memantapkan posisi di empat besar, dan itu yang terpenting, tapi Benitez malah
menurunkan sejumlah pemain lapis kedua saat melawan Southampton dan kemudian
kalah 2-1. Saat menghadapi Manchester United, Benitez menurunkan formasi
terbaiknya, Chelsea menang 1-0 dan lolos ke semifinal. Langkah Chelsea terjegal
di tangan Manchester City di semifinal yang saat itu menurut saya, City memang
menjadi klub yang tampil lebih baik dari Chelsea sepanjang musim tersebut. Benitez
seharusnya tahu bahwa dia tak perlu mengorbankan pertandingan Chelsea di
Premier League untuk menghadapi langkah terjal di Piala FA, kita tahu Chelsea
akan menghadapi siapa di semifinal dalam partai replay kontra United, karena
undian sudah dilaksanakan sebelumnya. Sekali lagi, dia terlalu serius
menghadapi Piala FA di saat Chelsea bahkan belum memastikan tempat mereka di
empat besar Premier League 2012-13. Terkadang, saya merasa Benitez sepertinya ingin mengukir sesuatu di Chelsea dengan meraih trofi nomor dua [Piala FA dan Liga Europa]. Padahal, saat dia mengambil tugas Di Matteo, Chelsea masih punya kesempatan juara Premier League. Itu masih bulan November. Apakah Benitez mengetahui jika dirinya tak cukup mampu membawa Chelsea bersaing di kompetisi terbaik ini, meskipun harus melewatkan semua kesempatan meraih trofi di Piala FA dan Liga Europa? Menurut saya, dia memang seperti itu.
Chelsea membutuhkan
seorang manajer yang paham betul tentang apa yang seharusnya diraih timnya dan
bagaimana melakukannya. Jose Mourinho bisa menjadi jawabannya, semoga.
Seperti yang saya
katakan, tugas Jose Mourinho tidaklah mudah. Memikirkan pemain mana yang harus
bermain dari satu pertandingan ke pertandingan lain saja sudah cukup susah
dipikirkan, mengingat melimpahnya stok pemain Chelsea, terutama di sektor
gelandang atau gelandang serang. Apalagi dengan kedatangan pemain-pemain
seperti Marco van Ginkel, Kevin de Bruyne, Willian dan Andre Schurrle.
Keputusan kontroversial
pun dibuatnya. Ia membangkucadangkan Juan Mata di awal musim ini dan menyatakan
bahwa Oscar adalah playmaker Chelsea yang baru. Sebuah keputusan yang hampir
setiap hari dipertanyakan oleh sebagian fans Chelsea, tapi saya tidak mengambil
penilaian terlalu awal bahwa Mata akan dibangkucadangkan sepanjang musim ini.
Juan Mata, 'kontroversi' terbesar Mourinho hingga kini |
Mourinho meminta Juan
Mata untuk beradaptasi dengan posisi barunya, yaitu sebagai pemain sayap yang
aktif, yang tak hanya lihai menyerang tapi juga tanggap melindungi pertahanan
saat bek sayap masuk menyerang. Seperti yang biasa dilakukan Eden Hazard saat mengcover posisi Ashley Cole.
Tapi, saat Juan Mata
bermain bagus melawan Swindon dan Spurs, Jose Mourinho memberikan kepercayaan
kepadanya untuk menjadi starter saat melawan Steaua Bucharest dan Norwich City.
Chelsea dengan mudah melibas Steaua dan Juan Mata menjadi salah satu pemain
yang tampil apik. Tapi, saat melawan Norwich, keadaan menjadi sedikit sulit
bagi Chelsea karena kedudukan imbang 1-1 hingga menit 80. Jose Mourinho melakukan
tiga pergantian pemain dalam tujuh menit yaitu,
Ba (Eto'o 73), Ashley Cole (Hazard 74) dan Mata (Willian 80). Willian,
yang menggantikan Mata mencetak satu gol dan berperan penting untuk terciptanya
satu gol sebelumnya yang mengembalikan keunggulan Chelsea. Di saat seperti itu
apakah masih ada yang mempertanyakan segala keputusan Jose Mourinho untuk tim
ini?
Sepertinya apapun
keputusan Jose Mourinho saat ini akan selalu ada pertanyaan yang mengiringi.
Sulit memang jika anda menjadi seorang manajer tim sepakbola, dimana anda hanya
bisa memainkan 11 pemain dan melakukan pergantian untuk tiga pemain, sementara
ada 18-23 pemain dalam tim anda yang memiliki kualitas masing-masing.
Saat Chelsea mulai
memainkan sepakbola indah semenjak musim lalu, salah satu hal yang tidak
dimiliki tim ini adalah konsistensi. Ya, dalam proses perubahan gaya permainan,
inkonsistensi adalah hal yang wajar, apalagi jika sebuah tim tumbuh dalam
kultur sepakbola yang kental dan ingin menerapkan gaya yang berbeda. Tapi, di
saat yang bersamaan, Roman Abramovich, pemilik klub ini, tak mau begitu saja
menerima alibi tersebut. Baginya, sepakbola indah dan hasil yang memuaskan
harus sejalan.
Jadi, Mourinho pun
berusaha keras untuk mewujudkan hal tersebut dengan caranya sendiri. Mou harus
mensinergikan filosofi sepakbola taktis-efektifnya dengan skill teknik melimpah
yang ada dalam skuad Chelsea. Maka dari itupula dia tidak menyingkirkan ketiga
gelandang serang Chelsea, ia hanya ‘menyingkirkan’ Juan Mata (itupun bukan
secara permanen). Ia mengembalikan posisi bek kanan kepada Branislav Ivanovic
yang musim lalu sering berganti posisi ke bek tengah. Mourinho menguji
kedisiplinan David Luiz, mengembalikan performa John Terry dan mengembangkan
level permainan Gary Cahill. Hal yang terlihat begitu nyata dari
kebijakan-kebijakan tersebut adalah menambah kekuatan elemen bertahan di tubuh
Chelsea, untuk meningkatkan performa dan pencapaian tim yang sudah bermain ‘terlalu menyerang, namun melupakan
keseimbangan tim’.
Jose Mourinho dan Frank Lampard. Kepercayaan. |
Saya tidak terlalu
cemas saat Chelsea gagal di Piala Super Eropa lewat adu penalti melawan Bayern
Muenchen, kalah dari Everton dengan skor 1-0 dan kalah dari FC Basel 1-2. Saya
hanya terheran, apakah saya benar-benar melihat Chelsea yang sama, yang bisa
menahan Bayern Muenchen dengan 10 pemain dan hanya kalah adu penalti, saat
Chelsea kalah dari Everton dan FC Basel? Beberapa orang terlalu cepat melupakan
perlawanan luar biasa Chelsea saat menghadapi juara bertahan Liga Champions dan
kemudian melabeli tim ini berada dalam krisis karena kekalahan kontra Everton
dan FC Basel.
Hasil-hasil negatif di
awal musim bagi saya adalah hal yang lumrah, apalagi jika tim anda kedatangan
manajer baru. Silahkan menyimak kisah Manchester United dalam 10-15 tahun
terakhir tentang bagaimana mereka meretas jalan menjadi juara di akhir musim.
Sudah tradisi, Setan Merah bahkan tak bisa memenangkan seluruh lima laga awal
mereka di awal musim.
Jadi, jika Jose
Mourinho mengalami sedikit kesulitan di awal musim ini, itu juga wajar. Sekali
lagi, dia disediakan skuad padat yang penuh bakat teknik, sementara dirinya
adalah penganut sepakbola taktis-efektif. Perpaduan dalam Chelsea ini memerlukan
waktu untuk bisa terkonvensi menjadi hasil yang memuaskan (baca: meraih
kemenangan demi kemenangan yang konsisten). Seperti yang dikatakan Mourinho: “Ini bukan tentang bagaimana anda memulai,
tapi bagaimana anda mengakhirinya.”
Lagipula, Liga Inggris
musim ini memang sangat menarik. Silahkan diamati, Chelsea bisa mengalahkan
Aston Villa, tim yang bisa mengalahkan Arsenal dan Manchester City musim ini. Everton
adalah tim yang bisa mengalahkan Chelsea, namun bisa dikalahkan Manchester
City. West Brom bisa mengalahkan Manchester United dan menahan Arsenal, tim
yang kini bercokol di puncak klasemen. Spurs yang bisa menahan imbang Chelsea
dan tengah tampil bagus-bagusnya, secara mengejutkan dihantam 0-3 oleh West Ham
di kandang mereka sendiri. Southampton menduduki posisi keempat dan menjadi tim
pertama yang bisa mengalahkan Liverpool musim ini. (Sekali lagi, tulisan ini
dibuat pada pertengahan Oktober. Sebagai tambahan, Chelsea kemudian kalah dari
Newcastle yang juga mengalahkan Spurs, Man United yang terombang-ambing malah
bisa mengalahkan Arsenal dan City kalah mengejutkan dari Sunderland).
Atau, fakta menarik
lainnya adalah Chelsea mungkin akan menjalani skenario terburuk mereka untuk
paruh pertama musim ini. Karena, dari lima laga tandang pertama di Premier
League, empat di antaranya dijalani di stadion-stadion angker seperti Old
Trafford, Goodison Park, White Hart Lane dan St. James Park. Artinya, di paruh
musim kedua, dengan skenario bagus berdasarkan jadwal home-away, semoga Chelsea
bisa meraih hasil maksimal.
Pada akhirnya, sebagus
apapun performa sebuah tim di Liga Inggris saat ini, sebesar apapun nama
mereka, sebaik apapun materi pemain mereka, persaingan akan semakin sengit dan
sebagai penikmat, menurut saya, kita semua baru benar-benar akan bisa melihat
siapa yang menjadi juara di pekan ke-38!
Chelsea
Till I Die