24 November, 2012

Roberto Di Matteo: Yang Tak Diinginkan, Yang Tak Seharusnya Bertahan...

Pemecatan Roberto Di Matteo dari kursi manajer Chelsea menjadi kejutan terbesar terbesar tengah pekan ini. Sebagian besar yang membaca berita ini pada hari Rabu sore (21/11) waktu Indonesia, pasti merasa terkejut, bingung dan bertanya-tanya kenapa seorang manajer yang mempersembahkan trofi Liga Champions enam bulan lalu harus dipecat secara tiba-tiba.

Pemecatan Roberto Di Matteo bersifat tiba-tiba? Kata tiba-tiba biasanya diarahkan pada sebuah kondisi dimana orang tidak melihat indikasi atau gejala-gejala akan terjadinya sesuatu yang tidak dibayangkan. Kepergian Roberto Di Matteo dari kursi kepelatihan bukanlah sesuatu yang bersifat tiba-tiba jika semua orang tahu bagaimana kultur Chelsea dibangun di era roman Abramovich.

Sebelum dipaksa melepas jabatan sebagai manajer Chelsea, Di Matteo hanya mampu membawa timnya meraih dua kemenangan dari tujuh laga terakhirnya. Dua kemenangan diraih saat melawan Manchester United di ajang Piala Liga Inggris dan saat menghadapi Shakhtar Donetsk di Liga Champions. Sisanya, kalah tiga kali, yaitu dari Manchester United dan West Brom di Liga Primer Inggris, serta Juventus di Liga Champions.

Dua kemenangan yang diraih terkesan membanggakan, tapi sebenarnya Chelsea bahkan harus berjuang sangat keras untuk menaklukkan sekelompok pemain lapis dua United di ajang sekelas Piala Liga serta keberuntungan di Liga Champions saat Shakhtar Donetsk bermain jauh lebih bagus dari mereka. Justru kekalahan yang mereka raihlah yang menimbulkan dampak lebih besar dari kemenangan yang mereka capai.

Ya, sejak kalah dari Manchester United 28 Oktober silam, Chelsea tak lagi meraih kemenangan di Liga Inggris. Di tengah banyaknya perdebatan bahwa laga itu berselimut kontroversi karena kepemimpinan wasit Mark Clattenburg, pertanyaan lain yang mungkin seharusnya muncul adalah mengapa The Blues bisa kebobolan dua gol begitu cepat lewat manuver serangan sayap Setan Merah? Kekalahan dari United dan juga West Brom membawa dampak hilangnya tahta klasemen dan kini Chelsea menempati posisi tiga klasemen.

Lalu, ehm, kekalahan telak 3-0 dari Juventus. Dampak dari kekalahan ini adalah Chelsea mungkin akan menjadi tim pertama yang tidak lolos ke fase knock out dengan status sebagai juara bertahan Liga Champions. Apakah Roman Abramovich yang terkenal dengan ambisinya sebagai pemenang itu akan bahagia dengan kondisi tersebut? Apakah fans Chelsea merasa tenang-tenang saja?

Bicara soal kebobolan, absennya John Terry jelas menimbulkan efek merusak yang luar biasa. Absennya Terry karena hukuman FA dan ditambah cedera, membuat lawan-lawan Chelsea begitu leluasa mengerjai Petr Cech, kiper yang musim lalu dinilai tampil begitu gemilang dengan sejumlah penyelamatan menawan. Tapi, semua tahu kalau itu bukan salah Petr Cech.

Lalu ini (pemecatan Roberto Di Matteo) semua salah siapa?

Ada beberapa alasan kenapa pemecatan Roberto Di Matteo bisa dikatakan masuk akal. Sedikit meminggirkan faktor sentimen emosional, melihat sosok Roberto Di Matteo sebagai bagian dari sejarah Chelsea saat ia menjadi pemain dan juga menjadi manajer Chelsea pertama yang bisa mengangkat trofi Big Ear, sejatinya menahan Di Matteo lebih lama lagi di Stamford Bridge bukanlah sebuah proyek jangka panjang yang bagus. Meskipun kita juga terkadang bingung kalau harus mendeskripsikan berapa ukuran waktu yang pas di Stamford Bridge untuk dikatakan jangka panjang. Hmmm...


1). Pertentangan Karakter Di Matteo dengan Sistem Permainan yang Dikembangkannya Musim Ini

Jadi, siapa yang pertama kali memberikan cap parkir bus kepada Chelsea musim lalu?

Banyak yang begitu marah melihat langkah Chelsea ke final Liga Champions musim lalu saat menyingkirkan Barcelona di semifinal. Tapi, itu sukses. Semua orang tahu Roberto Di Matteo adalah Italiano, bangsa yang tahu betul bagaimana membangun sistem pertahanan sepakbola terbaik. Meskipun jika dirilik ke belakang tak seluruh rangkaian perjalanan Chelsea musim lalu di era Di Matteo adalah sepenuhnya menunjukkan pertahanan gerendel. Chelsea bisa tegak kepala saat bicara bagaimana mereka menekuk Spurs 5-1 di partai semifinal Piala FA atau saat mengalahkan Liverpool 2-1 di final.

Tapi, sistem permainan yang dirancang Di Matteo adalah bagaimana menempatkan kekuatan lini pertahanan sebagai hal yang utama. Sangat berbeda dengan musim ini dimana hampir sepanjang 90 menit lawan-lawan Chelsea akan melihat bagaimana tiga playmaker Chelsea meliuk-liuk di garis pertahanan mereka.

Perubahan karakter permainan yang ditunjukkan Chelsea musim ini sangatlah berbeda dengan musim lalu. Berkali-kali dalam wawancaranya Di Matteo menyinggung soal disiplin dalam bertahan yang harus dimiliki anak buahnya. Memiliki tiga playmaker yang rajin menyerang tak membuatnya melupakan kekhawatiran soal bagaimana rapuhnya Chelsea jika lawan sudah bisa membaca arah serangan mereka. Dan, bagaimanapun rasanya memang sulit bagi seorang Italiano untuk mengurus sebuah tim yang harus memasukkan tiga attacking playmaker sekaligus, yang harus menerapkan sistem permainan menyerang demi image klub yang diharapkan sang owner saat dirinya sendiri bisa mensukseskan sebuah tim dengan gaya bermain bertahan.

Pembelian tiga pemain seperti Marko Marin, Eden Hazard dan Oscar jelas adalah proyek ideal di mata dewan klub, bukan proyek yang ideal untuk seseorang seperti Roberto Di Matteo.


2). Ekspektasi Muncul Karena Lawan-Lawan Medioker di Awal Musim

Sebelum bertemu Manchester United di pekan ke sembilan, Chelsea hanya sekali tersendat saat ditahan imbang QPR 0-0, selebihnya Chelsea selalu menang. Ya, tapi lawan-lawan Chelsea di delapan laga itu semuanya memang berada di bawah level Chelsea.

Pada sebuah wawancara dengan tv lokal, saya pernah bicara jika ujian Chelsea akan datang di akhir Oktober. Karena selain menghadapi United dua kali, mereka akan menghadapi tim seperti Spurs, dan Shakhtar Donetsk yang belum terkalahkan di Liga Champions. Ujian yang saya katakan saat itu, terwujud akhirnya. Kekuatan mengerikan (katanya) Chelsea langsung seret seketika. Atau bahkan, jika harus dilihat sebelum menjalani pekan kesembilan, Chelsea sudah dibantai Atletico Madrid di ajang Super Eropa dan bagaimana Juventus dan Shakhtar Donetsk menunjukkan seperti apa ujian yang harus dihadapi Chelsea jika bertemu tim selevel.

Ekspektasi yang terlalu cepat timbul di awal musim membuat kepergian Roberto Di Matteo pada Rabu lalu jadi semakin berat diterima fans Chelsea. Banyak yang berkata Di Matteo seharusnya diberi waktu lebih lama lagi karena perjalanan Chelsea musim ini hanya baru bobrok dalam sebulan terakhir. Tapi, sekali lagi pada awal musim ini Chelsea hanya menghadapi lawan-lawan medioker. Arsenal? Come on.... mereka tim peringkat berapa sekarang?

Faktanya juga Chelsea selalu selalu memecat pelatih di era Roman Abramovich saat mereka justru menerapkan permainan atraktif. Masih ingat Luis Fellipe Scolari? Andre Villas Boas? dan tentu saja Roberto Di Matteo....


3). Karena Liga Champions Bukanlah Tolok Ukur Sebenarnya

Banyak yang berat melepas kepergian Roberto Di Matteo karena prestasinya mengantar Chelsea ke panggung tertinggi di Eropa.

Jadi, saya sependapat saat Arsene Wenger menyebutkan jika kekuatan sebuah klub bisa dilihat dari posisi mereka di klasemen Liga (dalam hal ini yang dimaksudkan Wenger adalah Liga Inggris).

"Mungkin titel Liga Champions akan membangkitkan kembali hasrat Abramovich (pemilik klub Chelsea). Tapi, saya juga bangga ketika setiap klub Liga Inggris bisa memenangkan Liga Champions."

"Ini menunjukkan bagaimana kompetitifnya Premier League karena Chelsea hanya finish di posisi keenam di Liga Premier dan itulah yang  menunjukkan kualitas nyata dari sebuah tim."

"Yang lebih penting dari Liga Champions adalah tentang di mana anda finish di Liga. Ini menunjukkan seberapa bagusnya ajang Liga Primer Inggris saat ini."


Arsene Wenger, Agustus 2012. 




Dalam banyak kesempatan yang saya miliki untuk berbicara di radio, ataupun TV lokal, saya selalu berujar jika untuk memenangkan Liga Champions, sebuah tim memerlukan lebih banyak keberuntungan daripada jika mereka berjuang untuk menjadi juara Liga. Kenapa?

UCL bukanlah sebuah kompetisi yang berjalan setiap pekan, ada fase knock out. Di fase grup, setiap tim bermain sekali dalam dua pekan. Ada momen 14 hari yang memutus koneksi sebuah tim dengan atmosfer di Liga Champions. Berbeda dengan Liga yang digelar sepekan, atau bahkan empat hari sekali. Sebuah tim akan merasakan dan mengadaptasi atmosfer kompetisi dalam sebuah proses yang ideal dan sejalan waktu tim-tim terbaik akan menemukan titik tertinggi permainannya.

Belum lagi adanya fase knock out di Liga Champions. Arti dari knock out adalah dua laga terdiri dari home-away dan langsung tersingkir. Nasib sebuah tim ditentukan hanya dari dua laga. Jika mereka kalah agregat atau head to head atau kalah dua kali, selesai sudah. Padahal jarak laga terakhir fase grup dengan fase knock out adalah dua bulan. Dalam dua bulan banyak hal yang bisa terjadi.

Saya bisa katakan, Chelsea layak menjadi juara bukan di musim lalu. Tapi, lihatlah bagaimana Chelsea pada tahun 2004, 2005, 2007, 2008 dan 2009. Apa yang menjegal Chelsea di tahun2 tersebut? Jika saya dikatakan subyektif terserah, tapi bagi saya, itu adalah ketidak beruntungan. Apa yang membuat Chelsea menjadi juara musim lalu? Secara non teknis, saya mengatakan itu adalah KEBERUNTUNGAN.

Jika harus jujur, setidaknya dalam 10 tahun terakhir, kita semakin sering menemui juara Liga Champions yang datang bukan dari tim terbaik turnamen tersebut. Tapi, sebaliknya dalam kompetisi Liga, hanya yang terbaik dan konsistenlah yang layak juara.


4). Posisi Kritis Chelsea di UCL Musim Ini

Saat sebuah tim memiliki seorang kapten Brasil, tiga playmaker jagoan, satu bek tengah terbaik dunia, bek kiri terbaik dunia, kiper yang menjadi nominasi Kiper Terbaik Dunia, striker 50 juta Pounds..status juara bertahan Liga Champions, well apa yang diraih Chelsea di UCL musim ini unacceptable. Ya, UNACCEPTABLE, tidak bisa diterima. Meskipun belum berakhir, tapi sangatlah membingungkan apa yang dialami Chelsea saat ini.

Saya tak akan mengritik kemampuan Di Matteo sebagai manajer. Bagi saya manajer bukan hanya seorang pelatih. Manajer membutuhkan kemampuan soft skill yang lebih bersandar pada karakternya sendiri untuk menjadi andalan anak buahnya. Manajer tak sekedar ahli taktik. Manajer adalah sosok yang mampu menunjukkan kontrol penuh atas anak buahnya, sosok yang 'disayang dan dipercaya anak buahnya', sosok yang bisa dijadikan ayah di tempat latihan. Sosok yang mampu membentuk mentalitas, psikologis sosok-sosok dalam satu tim. Di Matteo memenuhi kriteria seorang manajer (berasal dari manage, artinya yang mengatur), tapi dia bukan tactician atau pelatih handal. Alasannya? Kembali ke paragraf pertama bab 4 ini.

Jadi, mungkin benar apa yang dikatakan teman saya, sesama fans Chelsea. Namanya, Doni Zola. Dia bilang, kalau dia menjadi Di Matteo, dia akan langsung mundur setelah merebut trofi Big Ear..... (walau alasan kami mungkin berbeda).

Anyway, thanks a lot Di Matteo.. Wish you all the best in future, LEGEND!





Btw, setelah Rafa Benitez ditunjuk sebagai manajer, saya sangat membenci keputusan ini. Alasannya? Gak perlu dibahas HAHAHAHAHAHAHAHA

Jadi, ini sedikit uraian saya..(sedikit?). Saya hanya bisa berkata, hingga saat ini, SAYA MASIH CINTA CHELSEA......



Tidak ada komentar:

Posting Komentar